KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
[center]Sumpah/Janji
Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.
Pasal 2
Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4
Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya.
BAB II
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
BAB III
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.
Pasal 12
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
BAB IV
KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP
SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA
Pasal 13
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan.
Pasal 14
Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui danmenerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan semakin banyaknya jumlah apoteker, maka sudah saatnya masyarakat mendapatkan perlindungan yang memadai dalam hal mengonsumsi obat Mengacu pada PP No 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pekerjaan tersebut mutlak merupakan kewenangan apoteker yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), yang terdiri dari sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan asisten apoteker.
Apotek 128 merupakan salah satu apotek di daerah Kartasura yang memberikan pelayanan 24 jam, dan terbagi dalam 3 shift kerja. Apotek 128 senantiasa berusaha memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan meningkatkan mutu secara terus-menerus. Cara yang ditempuh antara lain dengan menerapkan sistem One Stop Service, yaitu pelayanan yang lengkap karena terdapat 9 praktek dokter, laboratorium, dan apotek dalam satu gedung. Sekarang ini telah berdiri banyak apotek disekitar Apotek 128.
Peraturan Pemerintah No 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa tugas dan
fungsi apotek yaitu :
a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan
b. Sarana farmasi yang telah melakukan pekerjaan meracik, mengubah bentuk, mencampur dan menyerahkan obat atau bahan obat
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan mesyarakat secara luas dan merata.
Apotek dalam mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari supplier kepada customer, memiliki 5 fungsi kegiatan yaitu: 1) Pembelian, 2) Gudang, 3) Pelayanan (penjualan), 4) Keuangan 5) Pencatatan, sehingga agar dapat dikelola dengan baik, maka seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA), disamping ilmu kefarmasian yang telah dikuasai, juga diperlukan ilmu lainnya seperti ilmu pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (Umar, 2000).
Macam perspektif pengukuran kinerja apotek :
1) Keuangan/Financial
Perspektif financial tetap digunakan karena ukuran financial sangat penting dalam memberikan ringkasan konsekuensi tindakan ekonomis yang sudah diambil. Ukuran kinerja financial memberikan petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya
memberikan konstribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan. Ukuran keuangan ini menunjukkan adanya perencanaan, implementasi, serta evaluasi dari pelaksanaan strategi yang telah ditetapkan. Evaluasi ini akan tercermin dari sasaran yang secara khusus dapat diukur melalui keuntungan yang diperoleh, seperti contohnya Return On Investment, Net Profit Margin, Turn Over Ratio.
2) Customer
Perusahaan melakukan identifikasi customer yang dilakukan dengan jalan mengetahui kepuasan customer. Hal ini dapat mempengaruhi keputusan customer untuk berpindah atau tetap loyal kepada pemasoknya.
3. Tolok Ukur Pengukuran Kinerja Apotek
a. Perspektif Keuangan (Financial)
Perspektif keuangan tetap menjadi perhatian evaluasi kinerja apotek karena ukuran keuangan merupakan ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuantujuan yang ada dalam perspektif lainnya. Ukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi, sasaran strategi, inisiatif strategi dan implementasinya mampu memberikan konstribusi dalam menghasilkan laba bagi perusahaan (Mulyadi, 2005).
Analisis rasio digunakan untuk analisis keuangan yaitu salah satu teknik pengawasan keuangan dengan menggunakan data yang ada pada laporan keuangan neraca dan laba rugi apotek. Parameter keuangan yang diukur dari perspektif keuangan :
1) Tingkat Pengembalian Investasi
Menurut Hartono (2003) Return on Investment (ROI) merupakan analisa hasil usaha. ROI menghubungkan keuntungan yang diperoleh dari operasi perusahaan dengan jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan operasi tersebut.
ROI = Profit Margin x Operating Assets
= laba operasi / penjualan x penjualan /Operating Assets x 100%
Operating Assets adalah jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan operasi perusahaan (Munawir, 1986). Standart Return on Investment adalah 12 % (Hartono, 2003).
2) Net Profit Margin (NPM)
Net Profit Margin merupakan perbandingan antara penghasilan bersih dengan jumlah penjualan. NPM menggambarkan berapa persen dari penjualan seluruhnya merupakan penghasilan bersih. Standart Net Profit Margin adalah 9% (Hartono, 2003).
Net Profit Margin = laba bersih /penjualan x 100%
3) Rasio Aktivitas (Activity Ratio)
Rasio Aktivitas mengukur sampai dimana efektifnya suatu perusahaan menggunakan sumber-sumber dana, dan salah satu indikatornya adalah Turn Over Ratio (TOR). TOR menunjukkan
seberapa cepat persediaan barang-barang di apotek dan memiliki standart 15 x dalam setahun.
Turn Over Ratio = Harga Pokok Penjualan/Persediaan rata-rata
Persediaan rata-rata = Tingkat persediaan awal dan akhir tahun : 2
b. Perspektif Customer
1) Pengertian Customer
Customer tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata pelanggan, karena pelanggan dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian sebagai pembeli berulang kali (repeat buyer). Customer dapat mencakup repeat buyer maupun one-time buyer. Customer juga tidak sama dengan consumer, karena consumer (diserap dalam bahasa Indonesia menjadi konsumen) adalah orang yang memanfaatkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang atau suatu tim. Konsumen susu bayi adalah bayi, sedangkan pelanggan produk bayi adalah ibu bayi. Customer mencakup pengertian pelanggan berulang (repeat buyer), pelanggan sekali (one-time buyer), maupun konsumen (consumer) (Mulyadi, 2005).
2) Kepuasan Customer
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. kinerja berada dibawah harapan, customer tidak puas dan jika kinerja memenuhi harapan, customer puas, namun apabila kinerja melebihi harapan, customer amat puas atau senang. Banyak perusahaan berfokus pada kepuasan tinggi karena para customer yang hanya merasa puas mudah untuk berubah pikiran bila mendapat tawaran yang lebih baik. Mereka yang amat puas lebih sukar untuk mengubah pilihannya. Kepuasan tinggi atau kesenangan menciptakan kelekatan emosional terhadap merek, bukan hanya referensi rasional. Hasilnya adalah kesetiaan yang tinggi. Customer membentuk harapan. Harapan mereka dipengaruhi oleh pengalaman pembelian mereka sebelumnya, nasihat teman atau kolega, serta janji dan informasi pemasar dan para pesaingnya. Perusahaan yang memunculkan harapan terlalu tinggi, para pembeli kemungkinan besar akan kecewa (Kotler,1997). Harapan atau persepsi dapat membentuk kepuasan, karena kepuasan merupakan kesesuaian antara persepsi jasa yang diterima
atau dirasakan dengan yang diharapkan. Konsep model kontras tersebut yaitu membandingkan antara harapan dan kenyataan yang dikonfimasikan (Hadi dkk, 2000). Di masa lalu, perusahaan dapat memusatkan diri pada kapabilitas internal, dengan mengandalkan kinerja produk dan inovasi teknologi. Perusahaan yang tidak memahami kebutuhan customer akan memudahkan pesaing untuk menyerang melalui penawaran produk dan jasa yang lebih baik yang sesuai dengan preferensi customer (Kaplan dan Robert, 1996).
Salah satu studi mengenai dimensi kualitas pelayanan adalah konsep ServQual yang dikembangkan oleh Parasuraman, Berry dan Zeithaml. ServQual memiliki 5 dimensi yaitu Tangible, Reliability, Responsiveness, Assurance dan Empathy.
· Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
· Perbekalan kesehatan adalah semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
· Alat kesehatan adalah bahan, instrumen aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihankan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
· Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
· Perlengkapan apotek adalah semua peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek.
· Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
· Medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien.
· Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.
· Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan.
· Pelayanan residensial (Home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya.
P E L A Y A N A N
1. Pelayanan Resep.
1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
1.1.1. persyaratan administratif :
- Nama,SIP dan alamat dokter.
- Tanggal penulisan resep.
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
- Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.
- Cara pemakaian yang jelas.
- Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
1.1.3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2. Penyiapan obat.
1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan Obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi Obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASA BAKTI DAN IZIN KERJA APOTEKER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Apoteker adalah Sajana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
2. Pekejaan kefarmasian adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, penyampuran, penyimpanan dan penyerahan perbekalan farmasi.
3. Masa bakti adalah masa pengabdian profesi apoteker dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan oleh Pemerintah pada suatu sarana kesehatan.
4. Surat Izin Keja (SIK) adalah izin yang diberikan kepada apoteker untuk menjalankan pekejaan kefarmasian setelah memenuhi persyaratan.
5. Menteri adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
BAB II
PELAPORAN
Pasal 2
(1) Pimpinan Perguruan Tinggi wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri yang berisikan daftar apoteker yang baru lulus selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikannya ijazah asli.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk meminta kepada apoteker yang bersangkutan untuk melengkapi persyaratan dalam rangka penugasan masa bakti.
(3) Apoteker lulusan perguruan tinggi luar negeri wajib melaporkan diri kepada Departemen Kesehatan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah tiba di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 3
(
1) Apoteker yang telah melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diberikan Surat Penugasan.
(2) Surat Penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan kewenangan kepada apoteker untuk dapat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pelaksanaan masa bakti dan sekaligus merupakan dasar bagi pengajuan permintaan izin kerja.
BAB III
MASA BAKTI
Pasal 4
(
1) Apoteker wajib menjalankan masa bakti sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, yang penetapannya dilakukan oleh Menteri.
(2) Masa bakti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di sarana kesehatan milik Pemerintah, di Perguruan Tinggi sebagai staf pengajar dan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(3) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat ditetapkan Menteri untuk daerah dan sarana kesehatan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai masa bakti di Perguruan Tinggi sebagai staf pengajar diatur oleh Menteri setelah mendengarkan pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Pertahanan Keamanan dan Panghma Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 5
(
1) Apoteker yang telah selesai menjalankan masa bakti dapat mengikuti pendidikan lanjutan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat administrasi mengikuti pendidikan lanjutan sebagaimana dimaksud dalatn ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
BAB IV
IZIN KERJA
Pasal 6
(1)
Apoteker yang bekerja pada sarana kesehatan milik swasta wajib memimiliki Surat Izin Kerja.
(2) Untuk memperoleh Surat Izin Keda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), apoteker mengajukan permohonan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Surat Izin Kerja diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk setelah memenuhi persyaratan :
a. memiliki Surat Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. memiliki kemampuan jasmani dan rohani untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian;
c. memiliki Surat Keputusan Penempatan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau Departemen Pertahanan Keamanan atau Markas Besar Angkatan Bersenjata Repubhk Indonesia dalam rangka pelaksanaan masa bakti.
Pasal 7
Permohonan Izin Kerja ditolak apabila:
a. Apoteker sedang menjalani pidana penjara;
b. Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
Pasal 8
Tata cara pemberian atau penolakan permohonan izin kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diatur oleh Menteri.
Pasal 9
Apoteker yang telah memilih Surat Izin Kerja dan bekerja di sarana kesehatan milik swasta wajib melaporkan diri kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 10
(1) Surat Izin Kerja berlaku selama memenuhi persyaratan yaitu:
a. dilaksanakan di satu wilayah Daerah Tingkat I sebagaimana ditentukan dalam Surat Izin Kerja.
b. Apoteker yang bersangkutan tidak cacat jasmani dan/atau rohani yang tidak memungkinkan untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian.
c. tidak sedang menjalankan pidana penjara atau hukuman administratif berupa pencabutan Surat Izin Kerja.
(2) Surat Izin Kerja yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditnaksud dalam ayat (1) dinyatakan tidak berlaku oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 11
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap apoteker dalam menjalankan tugas profesinya dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan organisasi profesi yang terkait.
(2) Apoteker selama menjalankan tugas profesinya wajib menaati semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 12
Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesi Apoteker.
BAB VI
SANKSI
Pasal 13
Apoteker yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) dikenakan pidana kurungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana.
Pasal 14
(1) Tanpa mengurangi ketentuan yang berlaku dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, apoteker yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 11 ayat
(2) dan Pasal 12 dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. (2) Hukuman administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pencabutan Surat Izin Kerja untuk jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat dimungkinkan pencabutan lebih dari 1 (satu) tahun.
(3) Hukuman administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1964 tentang Pendaftaran Ijazah dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Dokter/Dokter Gigi/Apoteker sejauh yang menyangkut pengaturan tentang apoteker dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Surat Izin kerja Sementara dan Surat Izin Kerja yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1964 dinyatakan masih tetap berlaku dan merupakan dasar pengajuan memperoleh Surat Izin Kerja baru berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1964 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Dokter/Dokter Gigi/Apoteker dinyatakan tidak berlaku lagi
Pasal 17
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Nopember 1990. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Adapun ketentuan sebuah apotek di antaranya adalah:
a. Harus siap dengan tempat dan perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya milik sendiri atau pihak lain.
b. Pada apotek dapat dilakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
c. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi (Anief, 2000).
Pengelolaan apotek meliputi:
a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
c. Pelayanan informasi, meliputi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan pada dokter, tenaga kesehatan lainnya, maupun masyarakat.
d. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi.
e. Pelayanan informasi wajib didasarkan pada kepentingan masyarakat.
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu. Merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996). Pengukuran kinerja merupakan bentuk dari evaluasi kinerja suatu perusahaan.
Adapun syarat indikator kinerja yang baik adalah:
a. Spesifik dan jelas.
b. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
c. Dapat dicapai dan berguna untuk menunjukkan pencapaian input dan output, hasil, manfaat, dan dampak.
d. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan.
e. Efektif artinya datanya dapat dikumpulkan diolah dan dianalisis.
Terdapat lima dimensi kualitas pelayanan yang telah dirumuskan oleh Berry, Parasuraman, dan Zeithalm yang dapat dicirikan sebagai berikut (Kotler, 1997) :
a. Keandalan (reliability): kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.
b. Ketanggapan (responsiveness): kemauan untuk membantu customer dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan.
c. Keyakinan (assurance): pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.
d. Empati (emphaty): syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.
Tanggung jawab apoteker rumah sakit adalah:
1) Pembuatan obat yang digunakan di rumah sakit.
2) Menyediakan dan menyalurkan obat ke bagian-bagian rumah sakit.
3) Menggunakan sistem pencatatan dan pembukuan yang baik.
4) Merencanakan, mengorganisasi, menentukan kebijakan apotek rumah sakit.
5) Memberi informasi mengenai obat (konsultan obat) kepada dokter dan perawat.
6) Merawat fasilitas di apotek rumah sakit.
7) Ikut memberi program pendidikan dan training pada perawat.
Melaksanakan keputusan komisi dan terapi.
b. Tanggung jawab farmasis dalam pemberian informasi obat di apotek rumah sakit adalah :
1) Tanggung jawab atas obat dengan resep.
Farmasis harus mampu menjelaskan tentang obatnya pada pasien, sebab :
a) Dia tahu bagaimana obat tersebut diminum.
b) Dia tahu efek samping obat yang mungkin ada.
c) Dia tahu stabilitasnya obat dalam bermacam-macam kondisi.
d) Dia tahu efek toksisitas obat dan dosisnya.
e) Dia tahu tentang cara dan rute pemakaian obat.
2) Farmasis bertanggung jawab untuk memberi informasi pada rakyat dalam menggunakan obat bebas dan bebas terbatas (Anief , 2001).
Dalam undang-undang no.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 53 ayat 2
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan hak pasien antara lain :
a. Hak untuk mendapatkan informasi.
b. Hak memberi persetujuan.
c. Hak atas rahasia kedokteran.
d. Hak atas pendapat kedua (second opinion).
Informasi yang diperlukan oleh seorang pasien, paling tidak mencakup dua hal,
yaitu :
a. Informasi mengenai jenis penyakitnya dan pengobatannya.
b. Informasi mengenai obat yang diberikan pada pasien.
Ada 2 jenis masalah dasar tentang masalah informasi obat-obatan, yaitu
yang berorientasi pada pasien dan berorientasi pada obat. Definisinya adalah sebagai berikut :
a. Berorientasi pada pasien : perhatian ditunjukan pada pasien tertentu dan masalahnya yang berkaitan dengan obat-obatan pasien.
b. Berorientasi pada obat : perhatiannya ditujukan pada obat tertentu, dan pasien boleh dilibatkan atau tidak (Anonim, 1990).
Posted by Sari Mardatillah at 9/23/2012 04:02:00 am
Labels: Farmasi dan Dunianya