Tugas Kampus Ku
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Tugas Kampus untuk DosenKu Mr. Muhamad Danuri, M.Kom


You are not connected. Please login or register

ORGANISASI PROFESI

+34
Diyah Ayu Anggraeni s
yuli irawati13
shella dwi cahyani
nuranisah_dka4.2
sriyanti.ceria
zeny cute
husnulkhotimah
arum jatiningsih
hanik maria
efti nur hidayati
Wahyu Dwi Astuti
yanti dka 2.2
FUASIYAH
ISNANDA LAILA Q S
Fahrudin Wahyu Ramadhani
asih_jumiatun
handayaniku
yayukrahayu
Lina Nur Astuti
Fitri 0107
wahyu kristiana
Mei Fitria
ambarwati
rosalinawuryani
Siti Rofiah wija
Laras Setyaningrum
Nurjanah KA 4.3
ardo wigyo utomo
febriana dewi s
Reny Purwati
Mico Dannis
sofie_anna
endang setyowati
admin
38 posters

Pilih halaman : Previous  1, 2

Go down  Message [Halaman 2 dari 2]

26ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Organisasi Profesi Thu May 22, 2014 6:49 pm

efti nur hidayati

efti nur hidayati

Kode Etik Organisasi Perawat



Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan.

ORGANISASI PROFESI - Page 2 Slo8za

A. Kode Etik Keperawatan menurut PPNI.

Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pinpinan Pusat Persatuan Perawat Nasioanl Indonesia (DPP PPNI) melalui munas PPNI di Jakarta pada tangal 29 November 1989.
Fungsi Kode Etik Perawat
Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan bagi status profesional dengan cara sebagai berikut:
1. Kode etik perawat menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat diharuskan memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada perawat oleh masyarakat.
2. Kode etik menjadi pedoman bagi perawat untuk berperilaku dan menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam penerapan praktek etika.
3. Kode etik perawat menetapkan hubungan-hubungan profesional yang harus dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai advokator, perawat dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai teman sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang kontributor dan dengan masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan kesehatan.
4. Kode etik perawat memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi.
Kode etik keperawatan Indonesia : Terdiri dari 5 Bab, dan 17 pasal. yaitu:
1.  Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
• Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada tanggungjawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
• Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
• Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga dan masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.Tanggungjawab terhadap tugas.
• Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan khususnya serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
2.  Tanggungjawab terhadap tugas
• Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.
• Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
• Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
• Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
• Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.
3.  Tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya
• Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
• Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
4.  Tanggungjawab terhadap profesi keperawatan
• Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
• Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
• Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan keperawatan.
• Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
5.  Tanggungjawab terhadap pemerintah, bangsa dan negara
• Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
• Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.




B. Kode Etik Keperawatan menurut American Nurse Association (ANA) adalah sebagai berikut:
1. Perawat memberikan pelayanan dengan penuh hormat bagi martabat kemanusiaan dan keunikan klien yang tidak dibatasi oleh pertimbangan status sosial atau ekonomi, atribut personal atau corak masalah kesehatan.
2. Perawat melindungi hak klien akan privasi dengan memegang teguh informasi yang bersifat rahasia
3. Perawat melindungi klien dan publik bila kesehatan dan keselamatannya terancam oleh praktek seseorang yang tidak berkompoten, tidak etis atau ilegal
4. Perawat memikul tanggung jawab atas pertimbangan dan tindakan perawatan yang dijalankan masing-masing individu
5. Perawat memelihara kompetensi keperawatan
6. Perawat melaksanakan pertimbangan yang beralasan dan menggunakan kompetensi dan kualifikasi individu sebagai kriteria dalam mengusahakan konsultasi, menerima tanggung jawab dan melimpahkan kegiatan keperawatan kepada orang lain.
7. Perawat turut serta beraktivitas dalam membantu pengembangan pengetahuan profesi
8. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melaksanakan dan meningfkatkan standar keperawatan
9. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk membentuk dan membina kondisi kerja yang mendukung pelayanan keperawatan yang berkualitas
10. Perawat turut serta dalam upaya-upaya profesi untuk melindungi publik terhadap informasi dan gambaran yang salah serta mempertahankan integritas perawat
11. Perawat bekerja sama dengan anggota profesi kesehatan atau warga masyarakat lainnya dalam meningkatkan upaya-upaya masyarakat dan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesehatan publik.




C. Kode Etik menurut ICN
ICN adalah suatu federasi perhimpunan perawat di seluruh dunia yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1899 oleh Mrs.Bedford Fenwich di Hanover Square, London dan direvisi pada tahun 1973. Adapun kode etiknya adalah sebagai berikut :
1.  Tanggung Jawab Utama Perawat
Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab utama tersebut, perawat harus meyakini bahwa :
• Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di berbagai tempat adalah sama.
• Pelaksanaan praktik keperawatan dititik beratkan pada penghargaan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
• Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan /atau keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan instansi terkait.
2.  Perawat, Individu dan Anggota Kelompok Masyarakat
Tanggung jawab utama perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan masyuarakat. Oleh karena itu , dalam menjalankan tugas, perawat perlu meningkatkan keadaan lingkungan kesehatan dengan menghargai nilai-nilai yang ada di masyarakat, menghargai aadat kebiasaan serta kepercayaan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang menjadi pasien atau kliennya. Perawat dapat memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan hanya dapat memberikan keterangan bila diperlukaan oleh pihak yang berkepentingan atau pengadilan.
3.  Perawat dan Pelaksanaan Praktik Keperawatan
Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. Perawat dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar profesi keperawatan.
4.  Perawat dan Lingkungan Masyarakat
Perawat dapat memprakarsai pembaharuan, tanggap, mempunyai inisiatif, dan dapat berperan serta secara aktif dalam menentukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
5.  Perawat dan Sejawat
Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang, bila dalam masa perawatannya merasa terancam.
6.  Perawat dan Profesi Keperawatan
Perawat memainkan peran yang besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktik keperawatan dan pendidikan keperawatan . Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat sebagai anggota profesi berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktik keperawatan.

27ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Thu May 22, 2014 7:20 pm

hanik maria

hanik maria

ikatan fisioterapi indonesia




ORGANISASI PROFESI - Page 2 2ur2yxj



Sejarah Ikatan Fisioterapi Indonesia

Sebagai perkumpulan persatuan dari suatu profesi fisioterapi pada waktu itu dibentuklah suatu wadah atau organisasi untuk profesi Fisioterapi pada tahun 1961 yang bernama HAFI - Himpunan Asisten Fisioterapi Indonesia, yang bertujuan untuk memperkenalkan profesi yang baru ini kepada saudara-saudara kita yang bekerja dalam bidang kesehatan lainnyadan masyarakat luas.
Keadaan pada waktu itu lulusan Fisioterapi langsung mendapatkan ikatan dinas dan ditempatkan, (sesuai dengan ketentuan Departemen Kesehatan).
Atas dukungan Bpk. Prof. Dr. Suharso (Supervisor RC pada masa itu), kawan-kawan Fisioterapi bergerak untuk segera membentuk organisasi Fisioterapi yang bertujuan agar profesi Fisioterapi selain bekerja dalam membantu pemulihan kesehatan pasien yang non infectious, fractur, dislokasi dan degenerative deases juga agar Profesi Fisioterapi di Indonesia dapat setaraf dengan Fisioterapis dari luar negri terutama dari Negara Persemakmuran, Eropa dan Amerika Serikat. Organisasi ini disebut IKAFI.
Pengurus IKAFI yang pertama (1968 - 1970) adalah Ketua Umum - Albert Siahaan, MNZSP, Sekretaris Jenderal - Boedoyo,SMPh. Pada periode ini sudah terbentuk DCAFI (cabang) untuk wilayah : Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Semarang. Dan IKAFI pun diterima sebagai Temporary Member of WCPT (London).
Pada tahun 1970 Ketua Umum IKAFI diundang ke Amsterdam untuk mengikuti kongres WCPT. Kemudian diadakan Kongres pertama IKAFI yang diadakan di Jakarta. Dengan kekuatan bersama dari semua Panitia dan Anggota serta Sponsor yang mendukung, Kongres pertama pun sukses digelar. Dalam Kongres I yang dibuka atas nama MenKes tersebut berhasil dibuat pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Program Jangka Pendek dan Jangka Panjang IKAFI. Dibentuk pula kepengurusan pusat IKAFI untuk periode berikutnya (1970 - 1974), dimana Bpk. Albert Siahaan dan Bpk. Boedoyo kembali terpilih masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal IKAFI.
Pada tahun 1974 Ketum IKAFI berangkat ke Montreal untuk menghadiri kongres WCPT dimana pada saat itu IKAFI masih distatuskan sebagai anggota sementara WCPT. Lalu diselenggarakanlah Kongres ke II IKAFI di kota Bandung, dimana terpilih Bpk. Drs. Suhardi, SMPh sebagai Ketua Umumnya.
Perubahan IKAFI menjadi IFI bermula semenjak kepengurusan pusat, aktif bergerak di konsorsium kesehatan (CHS) yang dipimpin oleh Bpk. Prof. Dr. Ma'rifin Husin, MSc. Dimana beliau pada saat itu menganjurkan agar IKAFI berubah singkatan menjadi IFI, seperti IDI dan IBI. Pada akhirnya, nama organisasi Fisioterapi pun berubah dari IKAFI menjadi IFI. Setelah sebelumnya disetujui dahulu melalui Kongres VII Makasar pada 1996.
Dalam upaya pengembangan organisasi dan profesionalisme, Ikatan Fisioterapi Indonesia berupaya meningkatkan standar kompetensi anggota dengan berbagai kegiatan pendidkan, Ilmiah dan pengabdian masyarakat. Atas dukungan dari para pemangku kepentingan, Ikatan Fisioterapi Indonesia berusaha memberikan kemampuan terbaiknyaa untuk peningkatan derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat luas.

2.2. Visi dan Misi
VISI : Menjadikan IFI sebagai wadah perjuangan guna mewujudkan profesi fisioterapi mandiri profesional pada 2016.
MISI :
1. Menetapkan arah pendidikan dan pendidikan profesi Fisioterapi
2. Memperjuangkan keterbukaan akses , pola dan metode peningkatan kompetensi
3. Memantapkan penerapan perundang-undangan yang mengatur profesi Fisioterapi dan melakukan advokasi
4. Meningkatkan kerjasama internal dan eksternall antar lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri
5. Menetapkan tata kelola organisasi yang berprinsip pada good governance
6. Meningkatkan kegiatan komunikasi sosial guna meningkatkan citra organisasi dan citra profesi.

2.3. Kode Etik Fisioterapi Indonesia (KODEFI)
Kode Etik Fisioterapi Indonesia sesuai dengan Kep/100/VIII/2001/IFI (Ref; WCPT, APA, APTA) menghasilkan 7 butir garis besar :
1. Menghargai hak dan martabat individu.
2. Membantu siapa saja yang membutuhkan pelayanan profesionalnya tanpa diskriminasi.
3. Memberikan pelayanan profesional dengan jujur, berkompeten dan bertanggungjawab.
d. Mengakui batasan dan kewenangan profesi dan hanya memberikan pelayanan dalam lingkup profesi fisioterapi
4. Menjaga rahasia pasien yang dipercayakan kepadanya.
5. Selalu menjaga standar profesi dan meningkatkan pengetahuan/ketrampilan.
6. Memberikan kontribusi dalam perencanaan dan pengembangan pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat.

2.4. Hak-Hak Profesi Organisasi Ikatan Fisiterapi Indonesia (IFI)
1. Ikatan Fisioterapi Indonesia berhak atas loyalitas anggota dan memberikan perlindungan dari pelecehan akibat pelayanan yang inkopeten, ilegal dan bertentangan dengan kode etik profesi
2. Ikatan Fisioterapi Indonesia berhak atas nama baik dan menolak pelecehan dari siapapun.
3. Ikatan Fisioterapi Indonesia berhak atas pengajaran fisioterapi yang berkualitas, kompeten dan berpengalaman dibidangnya.
4. Ikatan Fisioterapi Indonesia berhak atas praktek fisioterapi yang profesisonal dan menolak diajarkan secara semena-mena kepada individu atau kelompok lain.

2.5. Bagian Bidang Ifi
1. BD. Organisasi & Hubungan Lembaga
2. BD. Pendidikan Berkelanjutan
3. BD. Pelatihan & Pengembangan Propesi
4. BD. Litbang & Sertifikasi
5. BD. Pengembangan & Pelayanan Hukum
6. BD. Usaha & Pengabdian Masyarakat
7. BD. Pembangunan Kantor & Sektariat Ifi

2.6. Tanggung Jawab Fisioterapi
1. Fisioterapi mengemban tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya dan memanfaatkan ketrampilan dan keahlian secara efektif untuk kepentingan individu dan masyarakat.
2. Fisioterapi dimanapun dia berada hendaknya selalu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dilingkungannya.
3. Fisioterapi harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan, jenis, dosis, struktur organisasi dan alokasi sumber daya dirancang untuk pelayanan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan individu, masyarakat, kolega, dan profesi lain.
4. Fisioterapi hendaknya selalu mencari, memberi dan menerima informasi agar dapat meningkatkan pelayanan.
5. Fisioterapi harus menghindari praktek ilegal yang bertentangan dengan kode etik profesi.
6. Fisioterapi harus mencantumkan gelar secara benar untuk mengambarkan status profesinya.
7. Fisioterapi wajib memberikan informasi yang benar kepada masyarakat dan profesi kesehatan lainnya tentang fisioterapi dan profesi kesehatan lainnya tentang fisioterapi dan pelayanan profesionalnya sehingga mereka menjadi tahu dan mau menggunkannya.
8. Fisioterapi dalam menentukan tarif pelayanan harus masuk akal dan tidak memanfaatkan profesi untuk semata-mata mencari keuntungan.
9. Jasa profesisional yang diterima fisioterapi harus diadaptkan dengan cara yang jujur.
10. Fisioterapi dalam memanfaatkan teknologi berdasarkan efektivitas dan efisiensi demi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan individu dan masyarakat.

28ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Thu May 22, 2014 7:36 pm

arum jatiningsih

arum jatiningsih


ORGANISASI PROFESI - Page 2 O8hvs6



ORGANISASI PROFESI PERSATUAN AHLI FARMASI INDONESIA
1. Latar Belakang Organisasi
Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) didirikan pada tanggal 13 Februari 1946 di Hotel Merdeka Yogyakarta dan Z.Abidin untuk pertama yang diangkat sebagai ketua PAFI.
Setelah terbentuk, sejarah mencatat bahwa anggota PAFI pertama kali menjalankan tugasnya untuk menyelamatkan obat-obatan, mesin-mesin yang berada di Manggarai, dan Raw opium yang berada di Salemba dalam mengantisipasi Belanda akan menguasai tempat-tempat tersebut. Raw opium dapat diselamatkan dan ternyata memberikan sumbangsih sumber dana untuk membiayai sebagian perjuangan Republik Indonesia di luar Negeri (Prof. Dr. Abdulrachman Saleh).
Dari sejarah inilah yang harus kita ketahui bersama, bahwa PAFI sudah berjuang semenjak zaman Indonesia baru merdeka dan memasuki masa transisi yang saat itu tentu tidak se nyaman kemerdekaan yang kita alami saat ini.
PAFI merupakan organisasi profesi ilmiah yang dipelopori oleh para ahli farmasi saat itu. Organisasi ini dibentuk tidak lain untuk menghimpun para ahli farmasi Indonesia yang ketika itu masih sangat terbatas.
Pembentukan organisasi ini juga didasari oleh suatu keinginan untuk membangun bangsa dengan memberikan dharma baktinya lewat keahlian yang dimiliki oleh ahli farmasi Indonesia dalam pembangunan kesehatan. Hal ini sejalan dengan tujuan PAFI, yaitu :
1. Terwujudnya manajemen dan jaringan yang kuat serta profesional dari PP (Pengurus Pusat), PD (Pengurus Daerah) Provinsi, PC (Pengurus Cabang) Kab/ Kota, PCK (Pengurus Cabang Khusus) Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota dan Rumah Sakit Umum Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota diseluruh wilayah NKRI.
2. Terlaksananya pendidikan Asisten Apoteker /Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai perkembangan dan ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Tertatanya keberadaan Asisten Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian disemua sarana kefarmasian melalui peraturan perundang-undangan.



Kode Etik Ahli Farmasi Indonesia

Bahwasanya Sumpah Asisten Apoteker Menjadi pegangan hidup dalam menjalankan tugas pengabdian kepada nusa dan bangsa Oleh karena itu seorang ahli farmasi Indonesia dalam pengabdianya profesinya mempunyai ikatan moral yang tertuang dalam Kode etik ahli Farmasi Indonesia :



A. Kewajiban terhadap Profesi

Seorang Asisten Apoteker harus menjunjung tinggi serta memelihara martabat, kehormatan profesi, menjaga integritas dan kejujuran serta dapat dipercaya.
Seorang Asisten Apoteker berkewajiban untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Serorang Asisten Apoteker senantiasa harus melakukan pekerjaan profesinya sesuai dengan standar operasional prosedur, standar profesi yang berlaku dank ode etik profesi.
Serorang Asisten Apoteker senantiasa harus menjaga profesionalisme dalam memenuhi panggilan tugas dan kewajiban profesi.

B. Kewajiban Ahli Farmasi terhadap teman sejawat

Seorang Ahli Farmasi Indonesia memandang teman sejawat sebagaimana dirinya dalam memberikan penghargaan
Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa menghindari perbuatan yang merugikan teman sejawat secara material maupun moral
Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa meningkatkan kerjasama dan memupuk keutuhan martabat jabatan kefarmasiaqn,mempertebal rasa saling percaya didalam menunaikan tugas

C. Kewajiban terhadap Pasien/pemakai Jasa

Seorang Asisten Apoteker harus bertanggung jawab dan menjaga kemampuannya dalam memberikan pelayanan kepada pasien/pemakai jasa secara professional
Seorang Asisten Apoteker harus menjaga rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian, serta hanya memberikan kepada pihak yang berhak
Seorang Asisten Apoteker harus berkonsultasi/merujuk kepada teman sejawat atau teman sejawat profesi lain untuk mendapatkan hasil yang akurat atau baik.

D.Kewajiban Terhadap Masyarakat

Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagi suri teladan ditengah-tengah masyarakat
Seorang ahli Farmasi Indonesia dalam pengabdian profesinya memberikan semaksimal mungkin pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan khususnya dibidang kesehatan khususnya dibidang Farmasi
Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu melibatkan diri dalam usaha – usaha pembangunan nasional khususnya dibidang kesehatan
Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagai pusat informasi sesuai bidang profesinya kepada masyarakat dalam pelayanan kesehatan
Seorang ahli Farmasi Indonesia harus menghindarkan diri dari usaha- usaha yang mementingkan diri sendiri serta bertentangan dengan jabatan Farmasian.

E. Kewajiban Ahli Farmasi Indonesia terhadap Profesi Kesehatan Lainnya

1. Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa harus menjalin kerjasama yang baik, saling percaya, menghargai dan menghormati terhadap profesi kesehatan lainnya

2. Seorang Ahli Farmasi Indonesia harus mampu menghindarkan diri terhadap perbuatan- perbuatan yang dapat merugikan,menghilangkan kepercayaan,penghargaan masyarakat terhadap profesi kesehatan lainnya.

29ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Fri May 23, 2014 6:46 pm

husnulkhotimah

husnulkhotimah

husnul khotimah
12020952
dka 4.2


ORGANISASI PROFESI KONSELOR

ORGANISASI PROFESI - Page 2 Logo-konseling


KODE ETIK KONSELOR

Kode etik konselor Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling Indonesia. Kode etik konselor diperlukan untuk melindungi anggota profesi sendiri dan kepentingan publik. Sebagai penjamin mutu layanan yang diberikan oleh konselor, kode etik berperan sebagai pedoman tingkah laku konselor dalam menjalankan aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus melaksanakan kode etik profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di lapangan yang diberitakan dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti kegiatan PPL II ketika menempuh S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah di kota Malang mengindikasikan masih adanya penyimpangan kode etik yang dilakukan konselor.

Secara umum tujuan diadakannya bimbingan dan konseling yaitu untuk membantu peserta didik atau siswa dalam memahami diri dan lingkungan, mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengembangkan potensi dan kemandirian diri secara optimal pada setiap tahap perkembangannya. Artinya dalam melaksanakannya guru pembimbing dituntut untuk dekat, akrab dan bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan kepribadian siswa dalam batasan tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi siswa.

Namun kenyataannya yang terjadi di lapangan cenderung berbeda dengan tujuan umum di atas. Yang terjadi adalah jarak pemisah yang cukup jauh antara guru BK dan siswa. Siswa merasa enggan untuk secara suka rela mendatangi konselor dalam mengatasi masalahnya. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan BK di sekolah:

Guru BK sebagai polisi sekolah

Pada beberapa sekolah, guru BK adalah sosok yang “ditakuti”. Hal ini wajar karena dalam “mendisiplinkan” siswa. terkadang dilakukan dengan interograsi, razia, dan punishment (hukuman). Sehingga jika ditanyakan kepada siswa mengenai guru BK, banyak siswa yang merasa benci, tidak bersahabat dan cenderung memilih lebih baik menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat mereka sedang dalam posisi melakukan kesalahan.

Pelaksanaannya masih menggunakan pola tidak jelas

Yang dimaksud dengan pola tidak jelas disini adalah tidak adanya aturan baku atau pola-pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah. Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara yang “kasar” dan justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan merokok, siswa tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok sekaligus. Hal ini tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat memberikan efek jera, namun disisi lain menghisap rokok dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersamaan, justru akan membahayakan kesehatan siswa

Pendekatan yang dilakukan pada siswa bermasalah / konseli masih menggunakan pendekatan klinik – klasik.

Dalam hal ini fokus penanganan BK dilakukan hanya kepada siswa yang berkeadaan dan mengalami hal-hal negatif, seperti nakal, membolos, malas membuat PR, dan lain sebagainya. Hubungan antara siswa dan guru pembimbing pun adalah sebagai atasan dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang sangat jauh antara keduanya.

Fenomena diatas jauh sekali dengan harapan bimbingan konseling sebagai profesi yang profesional. Masih adanya praktek bimbingan konseling yang tidak sesuai dengan tujuan dan kode etik bimbingan konseling yang sudah di rumuskan oleh ABKIN.  Namun hal ini tidak bisa kita generalisasi atau berfikir secara umum jika kode etik bimbingan konseling tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena Puspitasari (2010) dalam penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor SMA/SMK se kota Malang menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf tinggi, 45% konselor berada pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah dalam pelaksanaan kode etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional konselor 42,5% konselor berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3) pada aspek hubungan kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor berada pada taraf tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada profesi 95% konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah. Jika kita menelaah hasil penelitian diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa pelaksanaan kode etik konselor di SMA/SMK se Kota Malang sebenarnya cukup tinggi.

DASAR KODE ETIK PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

1.    Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

3.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 28 ayat 1, 2 dan 3 tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan)

4.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

5.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

HUBUNGAN KELEMBAGAAN
A.      Prinsip Umum

Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
Apabila konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara konselor dan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
B.       Keterkaitan Kelembagaan

Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak pula mendapat perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
Setiap konselor yang menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka ia harus mengundurkan diri dari lembaga tersebut.

Proses Layanan
1)        Hubungan dalam Pemberian Layanan

Kewajiban konselor harus menangani klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor. Kewajiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti, klien mengakhiri hubungan kerja dengan konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor.
Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai hasil yang kongkret. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.
2)        Hubungan dengan Klien

Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas, dan keyakinan klien.
Konselor harus menempatkan kepentingan kliennya diatas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya.
Dalam menjalankan tugasnya, konselor harus tidak mengadakan pembedaan klien atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama, atau status sosial ekonomi.
Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin diri orang yang bersangkutan.
Konselor bebas memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi ia harus memperhatikan setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang menghendaki.
Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggung jawab kepadanya.
Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing, khususnya sejauhmana  dia memikul tanggung jawab terhadap klien.
Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan dan rekan-rekan sejawat.
Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan adalah kepentingan klien.
Apabila timbul masalah antara kesetiaan antara klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah ia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
Konselor tidak akan memberikan hubungan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, apabila hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.
D.      Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan Sejawat atau Ahli Lain
1)        Konsultasi dengan Rekan Sejawat

Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se lingkungan seprofesi. Untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari klien.

2)        Alih Tangan Tugas

Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seseorang klien apabila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan keahlian maupun keterbatasan pribadinya.
Dalam hal ini konselor mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus dasar persetujuan klien. Bila pengiriman ke ahli lain disetujui klien, maka menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang mempunyai keahlian khusus.
Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.


SUMBER :
http://bambangdibyo.wordpress.com/2013/03/16/kode-etik-konselor-indonesia/
https://www.google.com/search?q=organisasi+dan+kode+etik+profesi+konselor&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=-y1_U7maNsyxrAeHkYG4Bg&ved=0CAYQ_AUoAQ&biw=1366&bih=640#q=lambang+organisasi+profesi+konselor&tbm=isch&facrc=_&imgdii=_&imgrc=zPJyUNdi_9GXEM%253A%3B57IDKxK1thRBOM%3Bhttp%253A%252F%252Fhimcyoo.files.wordpress.com%252F2012%252F04%252Flogo-konseling.png%3Bhttp%253A%252F%252Fhimcyoo.wordpress.com%252F2012%252F04%252F09%252Flogo-konseling%252F%3B320%3B302



Terakhir diubah oleh husnulkhotimah tanggal Fri May 23, 2014 7:01 pm, total 1 kali diubah

30ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Fri May 23, 2014 6:53 pm

zeny cute

zeny cute

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (BPK RI)

ORGANISASI PROFESI - Page 2 2edbp6a

KODE ETIK :

UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Naskah Asli)
UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 DAN PERUBAHANNYA
Perubahan Keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
PRODUK HUKUM BPK RI
Tahun 2013
Perubahan Atas Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan
Tahun 2011
Peraturan BPK No. 1 Tahun 2011 Tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan
Peraturan BPK No.2 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan (mencabut ketentuan peraturan no.2 tahun 2007)
Peraturan BPK No. 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa Keuangan
Tahun 2010
Peraturan BPK No. 1 Tahun 2010 Tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Peraturan BPK No.2 Tahun 2010 Tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan
Peraturan BPK No.3 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli
Peraturan BPK No.4 Tahun 2010 Tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa Pada Badan Pemeriksa Keuangan
Tahun 2009
Peraturan BPK No.1 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
Tahun 2008
Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan
Peraturan BPK RI Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Pelaksanaan Pemeriksaan
Peraturan BPK RI Nomor 03 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemanggilan dan Permintaan Keterangan oleh Badan Pemeriksa
Tahun 2007
Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Peraturan BPK RI Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Peraturan BPK RI Nomor 03 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara
DATABASE PERATURAN
Produk dan kajian hukum lain dapat dilihat lebih lanjut melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

31ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Fri May 23, 2014 10:44 pm

sriyanti.ceria

sriyanti.ceria

sRi YaNti NiN9SIH..
dKa 4.2..
12020957>>>>> Very Happy 



INI tuGASku....


ORGANISASI PROFESI - Page 2 2mz69i

IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) didirikan pada tanggal 6 Juli 1973 dalam Kongres Pustakawan Indonesia yang diadakan di Ciawi, Bogor, 5-7 Juli 1973. Kongres ini merupakan perwujudan kesepakatan para pustakawan yang tergabung dalam APADI, HPCI dan PPDIY dalam pertemuan di Bandung pada tanggal 21 Januari 1973 untuk menggabungkan seluruh unsur pustakawan dalam satu asosiasi. Dalam perjalanan panjang sejarah perpustakaan di negeri ini, jauh sebelum IPI lahir, sudah ada beberapa organisasi pustakawan di Indonesia. Mereka ini adalah Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen (1916), Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) 1953, Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) 1954, Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI) 1956, Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) 1962, Himpunan Perpustakaan Chusus Indonesia (HPCI) 1969, dan Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY).
Dalam Kongres Pustakawan Indonesia tahun 1973 tersebut, ada dua acara utama yang diagendakan, yaitu (1) seminar tentang berbagai aspek perpustakaan, arsip, dokumentasi, informasi, pendidikan, dan (2) pembentukan organisasi sebagai wadah tunggal bagi pustakawan Indonesia. Berkaitan dengan acara yang disebut terakhiri, Ketua HPCI Ipon S. Purawidjaja melaporkan bahwa sebagian besar anggota HPCI, melalui rapat di Bandung tanggal 24 Maret 1973 dan angket, setuju untuk bergabung dalam satu organisasi pustakawan. APADI pun memutuskan bersedia meleburkan diri melalui keputusannya tertanggal 4 Juli 1973, dan terhitung sejak 7 Juli 1973 APADI bubar sejalan dengan terbentuknya IPI.
Dengan kesepakatan bersama itu, maka kongres Ciawi melahirkan wadah tunggal pustakawan Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia. Pemilihan untuk Pengurus Pusat, yang didahului dengan penyampaian tata tertib pemilihan, menghasilkan a.l. ketua Soekarman, sekretaris J.P. Rompas, dan bendahara Yoyoh Wartomo. Komisi yang terbentuk di antaranya adalah Komisi Perpustakaan Nasional yang diketuai oleh Mastini Hardjoprakoso, Perpustakaan Khusus oleh Luwarsih Pringgoadisurjo (alm.) dan Pendidikan Pustakawan oleh Sjahrial Pamuntjak. Pada tanggal 7 Juli 1973 itu juga Anggaran Dasar IPI yang terdiri dari 24 pasal disahkan oleh peserta Kongres.







Tugas & Fungsi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)


TUJUAN
Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia melalui pengembangan pusdokinfo dalam pengabdian dan pengamalan keahliannya untuk bangsa dan negara RI.
KEGIATAN
Kegiatan IPI antara lain :
1. Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang
pusdokinfo di dalam dan luar negeri
2. Mengikutsertakan pustakawan dalam pelaksanaan program pemerintah,
swasta, dan masyarakat di bidang pusdokinfo
3. Menerbitkan bahan pustaka di bidang pusdokinfo
4. Memberikan berbagai jasa di bidang pusdokinfo dan bidang lainnya




KODE ETIK PUSTAKAWAN

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kode etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan.
Kode etik Pustakawan dibuat oleh Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Pustakawan yang menjadi anggota profesi adalah pustakawan yang telah sepakat bergabung dalam organisasi profesi IPI, sehingga setiap anggota profesi harus melaksanakan tunduk dan taat pada Kode Etik Pustakawan Indonesia.  Dengan demikian Kode Etik Pustakawan Indonesia adalah menjadi milik seluruh anggota profesi pustakawan.
Secara garis besar Kode Etik Pustakawan Indonesia (KEPI) dibagi menjadi tiga bagian yaitu : pembukaan, kewajiban-kewajiban pustakawan dan sanksi pelanggaran kode etik.
1. Pembukaan
“Pustakawan Indonesia adalah seseorang yang berkarya secara professional di bidang perpustakaan dan dokumentasi, yang sadar pentingnya sosialisasi profesi pustakawan kepada masyarakat luas dan perlu menyususn etika sebagai pedoman kerja”
1. Kewajiban-kewajiban pustakawan
A. “ Pustakawan menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian dan tanggung jawab kepada instansi tempat bekerja, bangsa dan Negara”.
B. “ Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun dan tulus”
C. “Pustakawan melindungi kerahasiaan dan privasi menyangkut informasi yang ditemui atau dicari dan bahan pustaka yang diperiksa atau dipinjam pengguna perpustakaan”.
D. “ Pustakawan ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja terutama yang berkaitan dengan pendidikan, usaha sosial dan kebudayaan”.
E. “ Pustakawan berusaha menciptakan citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat”
F. “Pustakawan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia dan Kode Etik Pustakawan Indonesia”
G. “Pustakawan memegang prinsio kebebsan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi”
H. “Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi”
I. “Pustakwan memperlakukan rekan sekerja berdasarkan sikap saling menghormati dan bersikap adil kepada rekan sejawat serta berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka”
J. “Pustakawan menghindarkan diri dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk kepentingan pribadi, rekan sekerja dan pengguna tertentu”
K. “Pustakawan dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan kegiatan profesional kepustakawanan”.
L. “Pustakawan berusaha meningkatkan dan memperluas pengetahuan. Kemampuan diri dan profesionalisme”
M. Sanksi-sanksi
“Pustakawan yang melanggar AD/ART IP dan KEPI dikenai sanksi sesuai dengan pelanggarannya, dan dapat diajukan ke Dewan Kehormatan Ikatan Pustakawan Indonesia untuk keputusan lebih lanjut. Kode etik ini berlaku tiga bulan setelah ditetapkan”


ANGGARAN DASAR IPI

Menyadari bahwa profesi, keahlian dan keterampilan pustakawan Indonesia dengan segala kaitannya perlu ditingkatkan dengan menghimpun pustakawan Indonesia dalam organisasi profesi, maka dengan ini di bentuklah Ikatan Pustakawan Indonesia, dengan Anggaran Dasar sebagai berikut :
BAB I
NAMA, KEDUDUKAN DAN WAKTU
Pasal 1
Nama
Organisasi ini bernama Ikatan Pustakawan Indonesia, disingkat IPI.
Pasal 2
Kedudukan
Ikatan Pustakawan Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Waktu
Ikatan Pustakawan Indonesia di dirikan di Ciawi, Bogor pada tanggal 6 Juli 1973 untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya.
BAB II
AZAS, SIFAT, LAMBANG DAN BENDERA
Pasal 4
Azas
Ikatan Pustakawan Indonesia berazaskan Pancasila
Pasal 5
Sifat
Ikatan Pustakawan Indonesia merupakan organisasi profesi yang bersifat nasional dan mandiri.
Pasal 6
Lambang dan Bendera
Lambang dan Bendera Ikatan Pustakawan Indonesia diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB III
TUJUAN DAN KEGIATAN
Pasal 7 tujuan
Ikatan Pustakawan Indonesia bertujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia.
2. Mengembangkan ilmu perpustakaan dokumentasi dan informasi.
3. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara RI.
Pasal 8
Kegiatan
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam pasal 7. Ikatan Pustakawan Indonesia melakukan berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut :
1. Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi di dalam dan luar negeri.
2. Mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam pelaksanaan program pemerintah dan pembangunan nasional di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
3. Menerbitkan pustaka dan atau mempublikasikan bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
4. Membina forum komunikasi antar pustakawan dan atau kelembagaan perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
BAB  IV
ORGANISASI
Pasal 9
Struktur Organisasi
Struktur organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia terdiri dari :
1. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Pusat tingkat Nasional
2. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah pada tingkat Propinsi/Daerah Tingkat I
3. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Cabang pada tingkat Kabupaten/Kotamadya/Wilayah kota administratif yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
Pasal 10
Pengurus
Kepengurusan Ikatan Pustakawan Indonesia terdiri dari :
1. Pengurus Pusat untuk IPI Pusat;
2. Pengurus Daerah untuk IPI Daerah;
3. Pengurus Cabang untuk IPI Cabang;
Pasal 11
Pengurus Pusat
(1)   Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia  (PP-IPI) terdiri dari :
Ketua Umum
Ketua I. Membidangi Perpustakaan Umum;
Ketua II. Membidangi Perpustakaan Sekolah;
Ketua III. Membidangi Perpustakaan Khusus;
Ketua IV. Membidangi Perpustakaan Perguruan Tinggi;
Sekretaris Jenderal;
Sekretaris;
Bendahara Umum;
Bendahara;
Komisi-komisi
(2)   Pengurus Pusat dipilih dan ditetapkan oleh Kongres untuk masa jabatan 4 tahun
(3)   Ketua Umum tidak dibenarkan dijabat lebih dari dua kali masa jabatan secara berturut-turut oleh orang yang sama
(4)   Fungsionaris Pengurus Pusat tidak dibenarkan merangkap menjadi Pengurus Daerah atau Pengurus Cabang
(5)   Pengurus Pusat membentuk sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dibantu Sekretaris dan dapat mengangkat sekurang-kurangnya dua tenaga tetap Sekretariat
(6)   Tugas dan kewajiban Pengurus Pusat adalah sebagai berikut :
a.     Memimpin Organisasi;
b.     Melaksanakan Keputusan Kongres
c.     Bertanggung jawab pada Kongres
d.     Melaksanakan Program Kerja dan keputusan lain yang ditetapkan oleh Konggres
e.     Menyelenggarakan hubungan dengan berbagai pihak di dalam dan di luar negeri
f.      Membina Pengurus Daerah
Pasal 12
Pengurus Daerah
(1)   Pengurus Daerah Ikatan Pustakawan Indonesia tingkat Daerah (PD-IPI) terdiri dari :
Daerah (PD-IPI) terdiri dari :
Ketua;
Wakil Ketua;
Sekretaris;
Wakil Sekretaris;
Bendahara;
Wakil Bendahara;
Komisi-komisi;
(2)   Pengurus Daerah dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Daerah dan disahkan oleh Pengurus Pusat untuk masa jabatan 4 tahun
(3)   Ketua Pengurus Daerah tidak dibenarkan dijabat lebih dari dua kali masa jabatan secara berturut-turut oleh orang yang sama
(4)   Pengurus Daerah membentuk Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dan dapat mengangkat sekurang-kurangnya seorang tenaga tetap sekretariat
(5)   Tugas dan kewajiban Pengurus Daerah adalah sebagai berikut :
a.     Melaksanakan kebijakan dan program Pengurus Pusat yang ditetapkan Kongres;
b.     Menyelenggarakan Musyawarah Daerah dan melaksanakan Keputusan Musyawarah Daerah;
c.     Untuk mempertanggung jawabkan tugas (5) a di atas Pengurus Daerah wajib membuat laporan tahunan tertulis kepada Pengurus Pusat;
d.     Membina Pengurus Cabang.
Pasal 13
Pengurus Cabang
(1)   Pengurus Cabang terdiri dari :
•        Ketua;
•        Wakil Ketua;
•        Sekretaris;
•        Bendahara;
•        Seksi-seksi
(2)   Suatu cabang dapat dibentuk apabila disuatu wilayah paling sedikit terdapat 20 orang anggota. Untuk wilayah yang jumlah anggotanya belum mencapai 20 orang, dapat menggabungkan diri pada Cabang terdekat di wilayah IPI Daerah
(3)   Pengurus Cabang dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Cabang serta disahkan oleh Pengurus Daerah untuk masa jabatan 4 tahun
(4)   Tugas dan kewajiban Pengurus Cabang adalah sebagai berikut :
a.     Melaksanakan kebijakan dan Program Kerja Pengurus Pusat serta Program Kerja Pengurus Daerah
b.     Mengelola anggota IPI Cabang dan menyusun daftar anggota
c.     Menyelenggarakan Musyawarah Cabang dan melaksanakan hasil Musyawarah Cabang
d.     Melaksanakan Pemungutan uang pangkal/iuran kepada anggota-anggota dan melaksanakan kewajiban mengirimkan kepada Bendahara Pengurus Pusat 10% dan Pengurus Daerah 15% dari uang pangkal dan iuran yang diterima Pengurus Cabang
e.     Membuat laporan tahunan sebagai pertanggungjawaban kegiatan Pengurus Cabang kepada Pengurus Daerah
Pasal 14
Pelindung, Panasehat dan Badan Pembina
(1) Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina Ikatan    Pustakawan Indonesia terdiri dari :
a.     Untuk Pengurus Pusat adalah Menteri;
b.     Untuk Pengurus Daerah adalah Gubernur;
c.     Untuk Pengurus Cabang adalh Bupati atau Walikota.
(2)   Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina Ikatan Pustakawan Indonesia pada Tingkat Pengurus Pusat terdiri dari :
a.     Kepala Perpustakaan Nasional sebagai Ketua;
b.     Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat IPI sebagai anggota;
c.     Pustakawan Senior sebagai anggota;
d.     Ketua Umum Pengurus Pusat IPI sebagai Sekretaris.
(3)  Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina Ikatan Pustakawan Indonesia pada Tingkat Pengurus Daerah terdiri dari :
a.     Kepala Badan Perpustakaan Daerah atau nama lainnya di Provinsi;
b.     Tokoh pemerhati perpustakaan.
(4)   Pelindung, Penasehat dan Badan Pembina bertugas memberikan saran, nasehat kepada pengurus menyangkut kebijakan pelaksanaan Keputusan Kongres atau Musyawarah Daerah, AD/ART dan pelaksanaan kegiatan.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 15
Anggota
(1)   Anggota Ikatan Pustakawan Indonesia terdiri dari :
a.     Anggota Biasa;
b.     Anggota Luar Biasa;
c.     Anggota Kehormatan.
(2)   Anggota Biasa adalah :
a. Warga negara Indonesia yang berpendidikan dan berpengalaman di bidang
perpustakaan, dokumentasi dan informasi (pusdokinfo)
b. badan/Lembaga yang bergerak di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi (pusdokinfo)
(3)   Anggota Luar Biasa adalah:
Warga negara yang tidak berlatar belakang    pendidikan dan pelatihan
pusdokinfo dan / atau tidak berprofesi di bidang pusdokinfo.
(4)   Anggota Kehormatan adalah :
a.     Mantan anggota Pengurus atau Badan Pembina yang karena jasanya kepada IPI diangkat sebagai Anggota Kehormatan.
b.    Anggota kehormatan ditingkat Pusat ditetapkan oleh Kongres atas usul Pengurus Pusat.
c.     Anggota kehormatan ditingkat Daerah ditetapkan oleh Musyawarah daerah atas usul Pengurus Daerah.
Pasal 16
Hak dan Kewajiban Anggota
(1)   Anggota Biasa mempunyai hak suara, bicara, memilih dan dipilih.
(2)   Anggota Kehormatan dan Anggota Luar Biasa mempunyai hak bicara.
(3)   Seluruh anggota wajib mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah tangga, Kode Etik Pustakawan dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pengurus.
(4)   Setiap anggota wajib membayar uang pangkal dan iuran anggota.
Pasal 17
Hilangnya Keanggotaan dan hak Membela Diri
(1)   Keanggotaan seseorang, Badan atau Lembaga dinyatakan hilang jika yang bersangkutan :
a.     mengundurkan diri
b.     melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
c.     melakukan perbuatan yang merugikan organisasi
d.     meninggal dunia atau bubar bagi Badan dan Lembaga.
(2)   Anggota yang diberhentikan dengan hubungan pasal 17 ayat (b) dan ayat (c) di atas mempunyai hak membela diri.
BAB VI
PERMUSYAWARATAN, KUORUM HAK SUARA DAN KEPUTUSAN
Pasal 18
Permusyawaratan
(1)   Permusyawaratan organisasi terdiri dari :
a.     Kongres;
b.     Rapat Kerja Pusat (Rakerpus);
c.     Musyawarah Daerah (Musda);
d.     Rapat Kerja Daerah (Rakerda);
e.     Musyawarah Cabang (Muscab).
(2)   Kongres.
a.     Kongres merupakan pemegang kekuasaan tertinggi organisasi untuk :
•        menilai dan mensahkan laporan pertanggungjawaban Pengurus Pusat.
•        meninjau, menetapkan dan mensahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga.
•        Menetapkan Program Kerja.
•        Memilih dan mensahkan Pengurus Pusat.
b.     Kongres dihadiri oleh Pengurus Pusat, Utusan-utusan Daerah, Utusan-utusan Cabang dan Peninjau.
c.     Kongres diadakan 4 tahun sekali
d.     Kongres baru sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya separuh lebih satu dari jumlah daerah.
e. Hak suara dalam Kongres adalah :
*) tiga (3) hak suara untuk Badan     Pembina;
*) lima (5) hak suara untuk Pengurus Pusat;
*) tiga (3) hak suara untuk setiap Pengurus Daerah;
*) satu (1) hak suara untuk setiap Pengurus Cabang;
*) ditambah satu (1) hak suara untuk setiap 20 anggota.
(3)   Rapat Kerja Pusat
a.     Rapt Kerja Pusat adalah forum tertinggi setelah Kongres untuk membahas pelaksanaan Program Kerja dan ketetapan-ketetapan organisasi
b.    Rapat Kerja Pusat dihadiri oleh Pengurus Pusat serta utusan-utusan Daerah dan cabang
c.     Rapat Kerja Pusat diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu periode kepengurusan.
(4)   Musyawarah Daerah
a.     Musyawarah Daerah merupakan pertemuan antara Pengurus Daerah dengan Pengurus Cabang untuk :
•        menilai dan mensahkan laporan pertanggungjawaban Pengurus Daerah
•        menetapkan Program Kerja
•        menetapkan hal-hal yang dipandang perlu
b.    Musyawarah Daerah dihadiri oleh Pengurus Daerah, Utusan-utusan Cabang dan Peninjau
c.     Musyawarah daerah diadakan 4 tahun sekali selambat-lambatnya 3 bulan setelah Konggres
d.     Musyawarah Daerah baru sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya separuh lebih satu dari jumlah cabang
e. Pengurus Daerah mempunyai delapan (Cool hak suara, Pengurus Cabang lima (5) hak suara ditambah satu (1) hak suara untuk setiap sepuluh (10) orang anggota.
(5)   Rapat Kerja Daerah.
a.     Rapat Kerja daerah merupakan pertemuan para Pengurus daerah dengan Utusan-utusan cabang untuk membahas pelaksanaan program kerja dan ketetapan-ketetapan organisasi.
b.     Rapat Kerja Daerah diadakan satu kali dalam satu periode kepengurusan.
(6)   Musyawarah Cabang
a.     Musyawarah Cabang merupakan pertemuan antara pengurus Cabang dengan seluruh anggota
untuk :
•        menilai dan mensahkan laporan pertanggung jawaban Pengurus Cabang;
•        menetapkan Program Kerja;
•        menetapkan hal-hal yang dipandang perlu;
•        memilih dan mensahkan Pengurus Cabang.
b.     Musyawarah Cabang diadakan 4 tahun sekali selambat-lambatnya 3 bulan setelah Musyawarah Daerah.
c.     Musyawarah Cabang baru sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya separuh lebih satu dari jumlah anggota.
d.  Setiap anggota mempunyai satu (1) hak suara.
Pasal 19
Keputusan
(1)    Pengambilan keputusan diusahakan secara musyawarah mufakat. Jika tidak dicapai kemufakatan, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak.
(2)   Dalam hal terjadi suara seimbang keputusan diserahkan kepada kebijaksanaan pimpinan sidang.
(3)   Keputusan mengenai pemilihan seseorang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia
BAB VII
DANA
Pasal 20
Dana
Dana organisasi diperoleh dari :
1.     Iuran anggota;
2.     Sumbangan yang tidak mengikat;
3.     Hasil usaha organisasian IPI
BAB VIII
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PERUBAHAN ORGANISASI
Pasal 21
Perubahan Anggaran Dasar
Anggaran Dasar ini dapat diubah oleh Kongres dengan persetujuan sekurang-kurangnya separuh lebih satu dari jumlah suara.
Pasal 22
Perubahan Organisasi
(1)  Pembubaran Organisasi IPI hanya dapat dilakukan oleh Kongres dengan persetujuan dua pertiga dari jumlah Daerah.
(2)  Jika IPI dibubarkan, maka hak milik dan kekayaan organisasi diatur dengan keputusan Kongres.
Pasal 23
Lain-lain
(1)   Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
(2)   Dalam keadaan luar biasa Pengurus Pusat dapat mengambil kebijaksanaan, dan dipertanggung jawabankan pada Kongres.
(3)   Anggaran dasar ini ditetapkan oleh Kongres dan mulai berlaku sejak ditetapkan.



DAFTAR PUSTAKA

Basuki,Sulistyo  . Kode etik.  7 November 2001. tarto.multiply.com .  Akses tgl 20
November 2009..
Hermawan, S Rachman, dan Zen, Zulfikar. 2006. Etika Kepustakawanan. Jakarta.

32ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Tugas kode etik dalam organisasi profesi Fri May 23, 2014 11:25 pm

nuranisah_dka4.2

nuranisah_dka4.2

Like a Star @ heaven Like a Star @ heaven  Siti Nuranisah  Like a Star @ heaven Like a Star @ heaven 
 king king  12020959_DKA 4.2  king king 

IKAHI(IKATAN HAKIM INDONESIA)
ORGANISASI PROFESI - Page 2 29w2slv

KODE ETIK PROFESI HAKIM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian


1.  Kode Etik Profesi Hakim ialah aturan tertulis yang harus    dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim.
2.  Pedoman Tingkah laku (Code of Conduct) Hakim ialah penjabaran dari kode etik profesi Hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
3.  Komisi Kehormatan Profesi Hakim ialah komisi yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku Hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik Profesi.
4.  Azas Peradilan yang baik ialah prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi oleh Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan aturan dasar berdasarkan ketentuan yang ada.



Pasal 2
Maksud dan Tujuan


Kode Etik Profesi Hakim mempunyai maksud dan tujuan :


1.Sebagai alat :

a.  Pembinaan dan pembentukan karakter Hakim
b.  Pengawasan tingkah laku Hakim


2.Sebagai sarana :

a.  Kontrol sosial
b.  Pencegah campur tangan ekstra  judicial
c.  Pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat.

3.Memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim.
4.Menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.


PEDOMAN TINGKAH LAKU
Pasal 3

Sifat-sifat Hakim
      Sifat Hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim" :
1.  Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.  Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan,   kezaliman dan ketidakadilan.
3.  Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4.  Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5.  Tirta, yaitu sifat jujur.



Pasal 4
Sikap Hakim


   Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya :


A. Dalam persidangan :


1.  Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam Hukum Acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :
a.  Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.
b.  Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajuan bukti -bukti serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan (a fair hearing).
c.  Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resud).
d.  Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentations of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controleerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggung-jawabkan (account ability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparancy) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.
e.  Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2.  Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3.  Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.
4.  Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5.  Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.


B. Terhadap Sesama Rekan

1.  Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.
2.  Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.
3.  Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps Hakim secara wajar.
4.  Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.


C. Terhadap Bawahan/Pegawai

1.  Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
2.  Membimbing bawahan/pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
3.  Harus mempunyai sikap sebagai seorang Bapak/lbu yang baik.
4.  Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan/pegawai.
5.  Memberi contoh kedisiplinan.


D. Terhadap Masyarakat

1.  Menghormati dan menghargai orang lain.
2.  Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri.
3.  Hidup sederhana.


E. Terhadap Keluarga/Rumah Tangga

1.  Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum kesusilaan.
2.  Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
3.  Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.



Pasal 5
Kewajiban dan Larangan


Kewajiban :

1.  Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang dengan tidak memihak (impartial).
2.  Sopan dalam bertutur dan bertindak.
3.  Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.
4.  Memutus perkara, berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.
5. Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.


Larangan :

1.  Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2.  Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3.  Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar acara persidangan.
4.  Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
5.  Melecehkan sesama Hakim, Jaksa, Penasehat Hukum, Para pihak Berperkara, ataupun pihak lain.
6.  Memberikan komentar terbuka atas putusan Hakim lain, kecuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah.
7.  Menjadi anggota atau salah satu Partai Politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang Undang-undang.
8.  Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.



Sumber:http://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/kode-etik-profesi-hakim



Terakhir diubah oleh nuranisah_dka4.2 tanggal Sun May 25, 2014 8:06 am, total 1 kali diubah

33ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty ORGANISASI PROFESI DAN KODE ETIK Sat May 24, 2014 11:09 pm

shella dwi cahyani

shella dwi cahyani

SHELLA DWI CAHYANI / 12020956 / DKA 4.2

IAI

ORGANISASI PROFESI - Page 2 Jr49sk

KODE ETIK
Ikatan Arsitek Indonesia dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab merumuskan Kode Etik Arsitek sebagai berikut :

Pasal 1
Dalam menunaikan tugas profesional yang dipercayakan kepadanya, seorang arsitek bertanggung kepada diri sendiri dan mitra kerja, profesi dan ilmu pengetahuan, masyarakat dan umat manusia serta bangsa dan negara, sebagai pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 2
Dalam menunaikan tugas, seorang arsitek membaktikan seluruh kemampuan, ketrampilan, pengetahuan dan perasaan yang dimilikinya di dalam proses pembangunan demi kesejahteraan umat manusia lahir dan bathin, dengan tetap menjaga kemandirian berpikir dan kebebasan bersikap.

Pasal 3
Seorang arsitek harus menempatkan diri, menata pikiran dan hasil karyanya, bukan sebagai tujuan melainkan sarana yang digunakan secara maksimal dalam mencapai tujuan kemanusiaan dengan berupaya hemat sumber daya serta menghindar dampak negatif.

Pasal 4
Atas dasar kepercayaan atas keutuhan integritas, keahlian, kujujuran, kearifan dan rasa sosial yang dilimpahkan kepadanya, maka seorang arsitek mendahulukan tanggung jawab dan kewajiban dari pada hak dan kepentingan diri sendiri.

Pasal 5
Tanpa mengurangi hak dan kepentingan pemberi tugas, seorang arsitek berusaha memahami dan memperjuangkan kepentingan umat manusia dan masyarakat pemakai, sekalipun pihak ini bukan pemberi imbalan jasa secara langsung.

Pasal 6
Arsitek sebagai budayawan harus berupaya mengangkat nilai-nilai sosial budaya melalui karyanya dan tidak semata-mata menggunakan pendekatan teknis.

Pasal 7
Pada tahap manapun dalam proses pembangunan, arsitek harus menunaikan tugasnya secara bijak dan konsisten.


SUMBER

http://iai.didiharyadi.com/etik/kodeetik.htm

34ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Organisasi profesi dan kode etik Sun May 25, 2014 3:40 am

yuli irawati13

yuli irawati13

IKATAN BIDAN INDONESIA ( IBI )
ORGANISASI PROFESI - Page 2 2jdjqmv

DEFINISI KODE ETIK

Merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai -nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu & merupakan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.


KODE ETIK BIDAN

1986 disusun pertama kali
1988 disusun dalam KONAS IBI X Surabaya
1991 disempurnakan dan disahkan dalam KONAS IBI XII di Denpasar Bali



ISI KODE ETIK BIDAN
1. Kewajiban bidan terhadap klien & masyarakat
• Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannyab dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai denan kebutuhan lklien, keluarga, dan masyarakat.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai- nilai yang di anut oleh klien.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuanyang dimilikinya .
• Setiap budan senantiasa menciptakan siasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara normal
1. Kewajiban Bidan terhadap tugasnya
• Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat.
• Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/ atau rujukan.
• Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang di dapat dan / atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila di minta oleh pengadilan atau diperluakan sehubungan dengan kepentingan klien.
1. Kewajiban bidan terhadap sejawat & tenaga kesehatan lainnya
• Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
• Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

1. Kewajiban bidan terhadap profesinya
• Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan membrikan pelayan yang bermutu kepada masyarakat.
• Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan IPTEK.
• Setiap bidn senantiasa serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
1. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
• Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar daoat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
• Setiap bidan wajib mebingkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan perkembangan IPTEK.
• Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
1. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa, bangsa,& tanah air
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan- ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan khususnya dalam Yankes Reproduksi, KB, dan kesehatan Keluarga.
• Setiap bidan melalui profesinya beroartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan Yankesterutama pelaksanaan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
1. Penutup
• Bidan merupakan suatu profesi kesehatan yang bekerja untuk pelayanan masyarakat dan terfokus pada kesehatan reproduksi perempuan, KB, Kesehatan Bayi dabn Anak Balita, serta Yankes Kesehatan.
• Standar profesi ini terdiri dari Standar kompetensi Bidan Indonesia, Standar Pendidikan, Standar pelayanan Kebodanan, dan Kode etik bidan. Standar kode etik ini wajib di patuhi dan dilaksanakan olieh setiap bidan dalam mengamalkan amanat profesi kebidanan.    

IBI sebagai profesi kesehatan menjadi dan menjadi wadah persatuan & kesatuan para bidan di indonesia dengan menciptakan KODE ETIK BIDAN yang disusun atas dasar PENDEKATAN KESELAMATAN KLIEN diatas kepentingan lainnya.
Terwujudnya kode etik :
1) Memberikan Yankes secara profesional
2) Tercapainya cita- cita pembangunan nasional di bidang kesehatan pada umumnya KIA/KB dan kesehatan keluarga pada umumnya



Sumber :
study  Smile  Smile  study
http://okkiardianti.blogspot.com/2010/12/kode-etik-bidan.html

35ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Re: ORGANISASI PROFESI Sun May 25, 2014 9:36 am

Diyah Ayu Anggraeni s

Diyah Ayu Anggraeni s

HIMPUNAN SPIKOLOGI INDONESIA
ORGANISASI PROFESI - Page 2 34e9fgl

BAB I
PEDOMAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
(1) KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatansebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di
Indonesia.
(2) PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang
melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi dan
ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi
dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi
strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1
(S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologiatau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang
meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam
pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis;
pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi
organisasi; aktifitasaktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta
administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang
pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan
psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-
bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian
asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; perancangan
dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains)
dan terapan.
(5) LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam
rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan,
pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa
praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan
masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen
asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi
organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan
administrasi.
Pasal 2
Prinsip Umum
Prinsip A: Penghormatan padaHarkat Martabat Manusia
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam
melaksanakan layanan psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak
individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan
dan pilihan pribadi seseorang.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus
untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan
yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal ke-
bangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status
sosialekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-
orang dari kelompok tersebut.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias
faktorfaktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun
tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.
Prinsip B: Integritas dan Sikap Ilmiah
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah
terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran
dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang
tidak benar.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil
keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi dimana
tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan
dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
kebutuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidakpercayaan atau
akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.
Prinsip C : Profesional
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan
segala bentuk layanan psikologi, penelitian,pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan
menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada adanya
saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna layanan
psikologi serta komunitas khusus lainnya.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban
profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk
mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak
buruk.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk
pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan
terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain.
(6) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan
sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.
Prinsip D : Keadilan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan
adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh
latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh
keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan penilaian yang dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-
bias yang muncul, mempertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian
sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin
ketidakberpihakan.
Prinsip E : Manfaat
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada
kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk
pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta
meminimalkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya
faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh mereka.
BAB II
MENGATASI ISU ETIKA
Pasal 3
Majelis Psikologi Indonesia
(1) Majelis Psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan pertimbangan etis,
normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi psikologi baik sebagai ilmuwan
maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.
(2) Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan laporan yang
masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.
(3) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi sesuai
prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah serta
bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia
dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.
(4) Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang belum diatur dalam
kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib mengundang Majelis
Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang
dimaksudkan untuk itu.
Pasal 4
Penyalahgunaan di bidang Psikologi
(1) Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap
Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi sebagaimana diatur
dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Kode
Etik Psikologi Indonesia
(2) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah
terhadap kerja mereka, mereka wajib mengambil langkah-langkah yang masuk akal sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi pelanggaran atau
kesalahan yang terjadi.
(3) Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik
psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki
Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:
a) Pelanggaran ringan yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam
kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mengakibatkan
kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.
b) Pelanggaran sedang yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam
melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.
c) Pelanggaran berat yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja
memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu di
bawah ini:
i. Ilmu Psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan tersendiri.
Pasal 5
Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum
pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan
komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik
sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat
diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh
terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.
(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau
bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap
kode etik dan jika memungkinkan menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara
sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.
(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain.
Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai bukti terkait ditujukan kepada
Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia.
Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.
(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia menjadi bahan
pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama tersebut dapat
dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang
diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam
organisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama
dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah
atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c. Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran
(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang melakukan
pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan data-data lain
yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil keputusan tentang
permasalahan pelanggaran tersebut. (7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak
puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi untuk
membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk
diumumkan sesuai dengan kepentingan.
Pasal 6
Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang mengajukan
keluhan karena terkena pelanggaran etika. Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang
jelas dan masuk akal.
BAB III
KOMPETENSI
Pasal 7
Ruang Lingkup Kompetensi
(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalambentuk mengajar, melakukan penelitian dan/
atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan
atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi
serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan
asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah memperoleh ijin praktik sebatas
kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi,
telaah dan/atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu atau cakupan
kasuskasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS, kekerasan berbasis gender,
orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan
kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal,
penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara
seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang dilakukan
kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan,
guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak lain yang terkait.
(5) Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi psikologi sebagaimana
tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya
hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8
Peningkatan Kompetensi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang
berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
mereka.
Pasal 9
Dasar-Dasar Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada
pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau universal dalam disiplin Ilmu Psikologi.
Pasal 10
Pendelegasian Pekerjaan Pada Orang Lain
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten, mahasiswa,
mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain
seperti penterjemah; perlu mengambil langkahlangkah yang tepat untuk:
a) menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda
dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau
hilangnya objektivitas.
b) memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu; dan
c) memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.
Pasal 11
Masalah dan Konflik Personal
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi mereka
akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta
pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan/atau konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda
adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari bantuan
atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara
profesional. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi,
menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.
Pasal 12
Pemberian Layanan Psikologi dalam Keadaan Darurat
(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi dimana layanan kesehatan mental dan/atau
psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada tetap harus
dilayani. Karenanya Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi
dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa
kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.
(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang
kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi
darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang
lebih kompeten atau dihentikan segera.
BAB IV
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Pasal 13
Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat
perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/ institusi, harus sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya serta berkewajiban untuk: a) Mengutamakan dasar-dasar profesional.
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan
psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta
pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak
negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.
Pasal 14
Pelecehan
(1) Pelecehan Seksual Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya
tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan
hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang
terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens/parah, atau perilaku
yang berulang, bertahan/sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud
dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
(a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menim- bulkan
suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
(b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam
konteks tersebut,
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat
merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
(2) Pelecehan lain Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan secara sadar
terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan
mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama,
orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosialekonomi.
Pasal 15
Penghindaran Dampak Buruk
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk
menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain
yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak
terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-
kemungkinan tersebut.
Pasal 16
Hubungan Majemuk
(1) Hubungan majemuk terjadi apabila:
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan
seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang sama,
atau
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan
dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan
profesional dengan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan majemuk
apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat merusak objektivitas, kompetensi
atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam
hubungan profesional tersebut.
(3) Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut
dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang
maksimal terhadap Kode etik.
(4) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau
kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal mereka harus
memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri sendiri
maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Pasal 17
Konflik Kepentingan
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila
kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain
diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan
fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk
bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan
psikologi tersebut. Pasal 18 Eksploitasi
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung
unsur eksploitasi, yaitu:
a) Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang mereka
supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa,
karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka
yang berada di bawah penyeliaannya.
b) Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa atau
mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki
wewenang evaluasi atau otoritas langsung.
c) Pemanfaatan atau eksploitasi atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan
seksual dengan pengguna layanan psikologi.
(2) Eksploitasi Data Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang
dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang
disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan,
partisipan penelitian, pengguna jasa layanan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah
penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan
pribadi. Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat
mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi ataupun
mengarah pada eksploitasi.
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu
hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi serta
hubungan dengan profesi lain.
(1) Hubungan antar profesi
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak
serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi seyogyanya saling memberikan umpan balik konstruktif
untuk peningkatan keahlian profesinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka
mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan
kewenangan, dan butir a), b), dan c) di atas tidak berhasil dilakukan maka wajib melaporkan
kepada organisasi profesi Himpsi. (2) Hubungan dengan Profesi lain
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan
kewenangan rekan dari profesi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan
psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.
Pasal 20
Informed Consent
Setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian /pendidikan /pelatihan /asesmen
/intervensi yang melibatkan manusia harus disertai dengan informed consent.
Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani proses dibidang psikologi
yang meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan
dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani
pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan
dalam informed consent adalah:
a. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan.
b. Perkiraan waktu yang dibutuhkan.
c. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan.
d. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut.
e. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.
f. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama
proses tersebut.
Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya,
kondisinya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka
informed consent dapat dilakukan secara lisan dan dapat direkam atau adanya saksi yang
mengetahui bahwa yang bersangkutan bersedia. Informed consent yang berkaitan dengan
proses pendidikan dan/atau pelatihan terdapat pada pasal 40; yang berkait dengan penelitian
psikologi pada pasal 49; yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 64; serta
yang berkait dengan konseling dan psikoterapi pada pasal 73 dalam buku Kode Etik ini.
Pasal 21
Layanan Psikologi Kepada dan/atau Melalui Organisasi
Psikolog dan/atau Ilumuwan Psikologi yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi/
perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:
• Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan
• Penerima layanan psikologi
• Individu yang menjalani layanan psikologi
• Hubungan antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan organisasi dan orang
yang menjalani layanan psikologi
• Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga
• Orang yang memiliki akses informasi Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dilarang
oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang
menjalani layanan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses
pemberian layanan psikologi berlangsung.
Pasal 22
Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan
menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan
pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak
lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan
apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.
(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan
psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
a) Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal.
b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
d) Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.
(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan
psikologi apabila:
a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa layanan psikologi yang telah
dilakukan.
b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani
pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul
perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.
BAB V
KERAHASIAAN REKAM dan HASIL
PEMERIKSAAN PSIKOLOGI
Pasal 23
Rekam Psikologi
Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.
(1) Rekam Psikologi Lengkap
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan), menjaga,
memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian, praktik, dan karya lain
sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan Kode Etik
Psikologi Indonesia.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah
mereka untuk:
i. memudahkan pengguna layanan psikologi mereka dikemudian hari baik oleh mereka sendiri
atau oleh profesional lainnya.
ii. bukti pertanggungjawaban telah dilakukannya pemeriksaan psikologi.
iii. memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal pencatatan,
penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya.
d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan data, dengan
memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku
dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa catatan atau
data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk keperluan hukum yang
melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi mereka, maka Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan dokumentasi yang
telah dibuatnya secara rinci, berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian
dengan cermat dalam forum hukum.
f) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan psikologi
terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya dalam
arsip sesuai dengan ketentuan, karena sesuatu hal tidak memungkinkan lagi menyimpan data
tersebut, maka demi kerahasiaan pengguna layanan psikologi, sebelumnya Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi menyiapkan pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat
lain terhadap data hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaannya.
Pelaksanaan dalam hal ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam bentuk tertulis
atau lainnya. (2) Rekam Psikologis untuk Kepentingan Khusus
a) Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat diberikan kepada
personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi untuk kepentingan
atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
b) Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketepatan hasil
pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
Pasal 24
Mempertahankan Kerahasian Data
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien
atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya.
Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang yang
menjalani layanan psikologi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka
pemberian layanan Psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut;
a) Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal
yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b) Dapat didiskusikan hanya dengan orangorang atau pihak yang secara langsung berwenang
atas diri pengguna layanan psikologi.
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga
hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologiprofesi,
dan akademisi.
Dalam kondisi tersebut indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga
kerahasiaannya. Seandainya data orang yang menjalani layanan psikologi harus dimasukkan ke
data dasar (database) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat
diterima oleh yang bersangkutan maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan
untuk bisa dikenali.
Pasal 25
Mendiskusikan Batasan Kerahasian Data kepada Pengguna Layanan Psikologi
(1) Materi Diskusi
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membicarakan informasi kerahasian data dalam rangka
memberikan konseling dan/atau konsultasi kepada pengguna layanan psikologi (perorangan,
organisasi, mahasiswa, partisipan penelitian) dalam rangka tugasnya sebagai profesional. Data
hasil pemberian layanan psikologi hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah atau profesional.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan tugasnya harus berusaha untuk
tidak mengganggu kehidupan pribadi pengguna layanan psikologi, kalaupun diperlukan harus
diusahakan seminimal mungkin.
c) Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis; sebatas perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat.
(2) Lingkup Orang
a) Pembicaraan yang berkaitan dengan layanan psikologi hanya dilakukan dengan mereka yang
secara jelas terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut.
b) Keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan
pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya.
c) Jika pemakai jasa layanan psikologi masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak
mampu untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi wajib melindungi agar pengguna layanan psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
d) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan konsultasi antar sejawat, perlu
diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan. Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya menjadi
rahasia pengguna layanan psikologi (peserta riset, atau pihak manapun yang menjalani
pemeriksaan psikologi), kecuali dengan izin yang bersangkutan atau pada situasi dimana
kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya diperbolehkan
kalau diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa
menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang dapat dikenali sebagai indentitas
pihak tertentu.
Pasal 26
Pengungkapan Kerahasian Data
(1) Sejak awal Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus sudah merencanakan agar data yang
dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal
dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus hubungan dengan posisinya atau tempat
praktiknya.
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan catatan dan
data yang termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan
data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal.
(3) Cara pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data pengguna
layanan psikologi yang seharusnya tidak dikenai biaya atau pemotongan pajak. Dalam
hal ini, pencatatan atau pemotongan pajak mengikuti aturan sesuai hukum yang berlaku.
(4) Dalam hal diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai atau seje-
Data dan informasi hasil layanan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan pendidikan, data
harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama orasng atau lembaga yang
datanya digunakan. nisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus
dihapuskan sebelum datanya dapat diakses.
(5) Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau
tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional, baik secara
perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari
masalah atau kesulitan.
Pasal 27
Pemanfaatan Informasi dan Hasil Pemeriksaan untuk Tujuan Pendidikan atau
Tujuan Lain
(1) Pemanfaatan untuk Tujuan Pendidikan
(2) Pemanfaatan untuk Tujuan Lain
a) Pemanfaatan data hasil layanan psikologi untuk tujuan lain selain tujuan pendidikan harus
ada ijin tertulis dari yang bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang
datanya digunakan.
b) Khususnya untuk pemanfaatan hasil layanan psikologi di bidang hukum atau halhal
yang berkait dengan kesejahteraan pengguna layanan psikologi serta orang
yang menjalani layanan psikologi maka identitas harus dinyatakan secara jelas dan
dengan persetujuan yang bersangkutan.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak membuka kerahasiaan pengguna layanan
psikologi serta orang yang menjalani layanan psikologi untuk keperluan penulisan, pengajaran
maupun pengungkapan di media, kecuali kalau ada alasan kuat untuk itu dan tidak
bertentangan dengan hukum.
d) Dalam pertemuan ilmiah atau perbincangan profesi yang menghadapkan Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi untuk mengemukakan data, harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan tanpa mengungkapkan identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang


SUMBER: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/04/23/kode-etik-psikologi-indonesia-terbaru-himpsi-2010-359055.html

36ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty ORGANISASI PROFESIDAN KODE ETIK Sun May 25, 2014 12:31 pm

endang zuniroh KA 3

endang zuniroh KA 3


IKATAN AKUNTANSI INDONESIA
Tentang IAISejarah IAI
• Landasan Hukum Organisasi
• Struktur IAI
• Program Kerja IAI
• Susunan Pengurus IAI
• Manajemen Eksekutif IAI
• IAI Wilayah
• Laporan Pertanggungjawaban Pengurus IAI
Menjadi Akuntan Profesional
- Apa Itu Akuntan
- Register Negara Untuk Akuntan
- Value Menjadi Akuntan Profesional
- Rute Menjadi Akuntan Profesional
- Evaluasi Pengalaman Praktik
- Form Pendaftaran Anggota

Kompartemen
*Akuntan Sektor Publik
*Akuntan Pendidik

Standar Akuntansi Keuangan
- Umum
- Syariah
- ETAP
- DSAK/DSAS Update
- Other

Pendidikan & Pelatihan
- Profil PPL
- Dokumentasi Acara
- Agenda Pelatihan
- Kursus Microsoft Excel 2010 Basic & Advanced
- Sertifikasi
- Kursus Brevet AB & C
- Kursus Akuntansi Keuangan Syariah
- Agenda Free Workshop
- Kursus Aplikasi Akuntansi Keuangan Dasar
- Kursus PSAK Terkini
- Program In House Training
- Formulir - formulir Pelatihan
- Kursus Cost Accounting Untuk Pengelolaan Biaya
- Corporate Cash Management
- Agenda Free PPL IAI Knowledge Center

Sertifikasi
- Jenis Sertifikasi
- Akuntan Profesional
- Testimoni
- SIlabus
- Info Sertifikasi IAI
- Pengumuman Kelulusan

Referensi
- Produk IAI
- SAK
- Majalah Akuntan Indonesia
- Koleksi Perpustakaan IAI
- Koleksi Jurnal
- Regulasi Terkait Profesi Akuntan
- Materi-materi Kegiatan IAI
- WCOA 2010

Keanggotaan
- Pelayanan Anggota
- Menjadi Anggota IAI
- Jenis Keanggotaan
- Akun Saya
- Sertifikasi Profesional
- Perpustakaan
- Jaringan Keanggotaan & Forum
- Manfaat Keanggotaan
- Member Handbook
- Kode Etik
- Hak & Kewajiban Anggota
- Konsultasi

1 .KODE ETIK PROFESI AKUNTANSI MENURUT IAI
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
1. Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
2. Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan
3. Interpretasi Aturan Etika, Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

2 . PRINSIP ETIKA PROFESI MENURUT IAI
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 (empat) kebutuan dasar yang harus dipenuhi :
1. Kredibilitas.
Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2. Profesionalisme.
Diperlukan individu yang denga jelas dapat diindentifikasikan oleh pamakai jasa akuntan sebagai profesional dibidang akuntansi.
3. Kualitas Jasa.
Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan stndar kinerja yang tinggi.
4. Kepercayaan.
Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemebrian jasa oleh akuntan.

Prinsip Etika Profesi Akuntan :
1. Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4. Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.

3. CONTOH 3 KASUS PELANGGARAN ETIKA DAN PRINSIP PROFESI AKUNTANSI

1. Kasus Mulyana W. Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebeumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat pelanggaran kode etik dimana auditor telah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang auditor dalam mengungkapkan kecurangan. Auditor telah melanggar prinsip keempat etika profesi yaitu objektivitas, karena telah memihak salah satu pihak dengan dugaan adanya kecurangan. Auditor juga melanggar prinsip kelima etika profesi akuntansi yaitu kompetensi dan kehati-hatian professional, disini auditor dianggap tidak mampu mempertahankan pengetahuan dan keterampilan professionalnya sampai dia harus melakukan penjebakan untuk membuktikan kecurangan yang terjadi.

2. Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisa : Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah dilanggar dalam kasus ini, yaitu pada prinsip pertama berupa pelanggaran tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada jasa professional seorang akuntan. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar dalam kasus ini. Seorang akuntan seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan publik.

3. Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997.Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI& R,HT& M,H&R,JM&R,PU&R,RY,S&S,SD&R, dan RBT&R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat banyak pelanggaran kode etik profesi akuntan. Prinsip pertama yaitu tanggung jawab profesi telah dilanggar. Karena auditor telah menerbitkan laporan palsu, maka kepercayaan masyarakat terhadapnya yang dianggap dapat menyajikan laporan keuangan telah disalahi. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar, karena dianggap telah menyesatkan public dengan disajikannya laporan keuangan yang telah direkayasa. Bahkan prinsip keempat yaitu obyektivitas juga dilanggar, yaitu mereka tidak memikirkan kepentingan public melainkan hanya mementingkan kepentingan klien.

Sumber : 1. www.iaiglobal.or.id/tentang_iai.php?id=18
2. http://keluarmaenmaen.blogspot.com/2010/11/beberapa-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html
3. http://lhiyagemini.blogspot.com/2012/01/contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html







37ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty ORGANISASI PROFESI DAN KODE ETIK Wed May 28, 2014 10:54 pm

Oktalia.

Oktalia.

ORGANISASI PROFESI - Page 2 1z5hx8j

KODE ETIK BIDAN


DEFINISI BIDAN
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelasaikan pendidikan bidan yang telah di akui oleh pemerintah & lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku, dicatat (register), diberi ijin secara sah untuk menjalankan praktek.

DEFINISI KODE ETIK

Merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai -nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu & merupakan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntutan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.


KODE ETIK BIDAN

1986 disusun pertama kali
1988 disusun dalam KONAS IBI X Surabaya
1991 disempurnakan dan disahkan dalam KONAS IBI XII di Denpasar Bali


ISI KODE ETIK BIDAN
1. Kewajiban bidan terhadap klien & masyarakat
• Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannyab dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai denan kebutuhan lklien, keluarga, dan masyarakat.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai- nilai yang di anut oleh klien.
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuanyang dimilikinya .
• Setiap budan senantiasa menciptakan siasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara normal
1. Kewajiban Bidan terhadap tugasnya
• Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat.
• Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/ atau rujukan.
• Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang di dapat dan / atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila di minta oleh pengadilan atau diperluakan sehubungan dengan kepentingan klien.
1. Kewajiban bidan terhadap sejawat & tenaga kesehatan lainnya
• Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
• Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

1. Kewajiban bidan terhadap profesinya
• Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan membrikan pelayan yang bermutu kepada masyarakat.
• Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan IPTEK.
• Setiap bidn senantiasa serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
1. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri
• Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar daoat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
• Setiap bidan wajib mebingkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan perkembangan IPTEK.
• Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
1. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa, bangsa,& tanah air
• Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan- ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan khususnya dalam Yankes Reproduksi, KB, dan kesehatan Keluarga.
• Setiap bidan melalui profesinya beroartisipasi dan menyumbangkan pemikiran kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu dan jangkauan Yankesterutama pelaksanaan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
1. Penutup
• Bidan merupakan suatu profesi kesehatan yang bekerja untuk pelayanan masyarakat dan terfokus pada kesehatan reproduksi perempuan, KB, Kesehatan Bayi dabn Anak Balita, serta Yankes Kesehatan.
• Standar profesi ini terdiri dari Standar kompetensi Bidan Indonesia, Standar Pendidikan, Standar pelayanan Kebodanan, dan Kode etik bidan. Standar kode etik ini wajib di patuhi dan dilaksanakan olieh setiap bidan dalam mengamalkan amanat profesi kebidanan.    

IBI sebagai profesi kesehatan menjadi dan menjadi wadah persatuan & kesatuan para bidan di indonesia dengan menciptakan KODE ETIK BIDAN yang disusun atas dasar PENDEKATAN KESELAMATAN KLIEN diatas kepentingan lainnya.
Terwujudnya kode etik :
1) Memberikan Yankes secara profesional
2) Tercapainya cita- cita pembangunan nasional di bidang kesehatan pada umumnya KIA/KB dan kesehatan keluarga pada umumnya.

38ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty TUGAS ORGANISASI PROFESI Wed Jun 04, 2014 5:11 pm

fenti senia seli

fenti senia seli

ORGANISASI PROFESI - Page 2 14wdchh

Persatuan Ahli Farmasi Indonesia disingkat PAFI adalah organisasi yang menghimpun tenaga ahli farmasi profesi Asisten Apoteker (AA) seluruh Indonesia, sekarang disebut Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Enam bulan setelah Proklamasi Negara Republik Indonesia, dibentuklah secara nasional PAFI. Yaitu tepatnya pada tanggal 13 Februari 1946 di Hotel Merdeka Jogyakarta dan sebagai anggota pendiri yang berjasa diangkatlah Ketua PAFI pertama, Bpk. Zainal abidin.

Pada awal kemerdekaan terjadi peperangan dengan Pasukan Belanda yang bertujuan ingin merebut kembali tanah jajahan mereka. Sebagai Ketua PAFI pertama Bpk. Zainal Abidin bersama Bpk. Kasio mendapat tugas untuk memindahkan perbekalan farmasi dan mesin-mesin yang berada di Manggarai (Jakarta) ke Jogjakarta, Tawangmangu dan Ambarwinangun dengan menggunakan sarana tranportasi kereta api. Bpk. Zainal Abidin dan teman-teman Asisten Apoteker lainnya pun akhirnya berhasil memindahkan perbekalan farmasi dan mesin-mesin tersebut, yang kemudian diberikan kepada para pejuang Republik Indonesia yang membutuhkannya.

PAFI merupakan organisasi farmasi tertua di Indonesia, bahkan Profesi Asisten Apoteker lebih dahulu muncul keberadaannya daripada profesi apoteker. Hal ini disebabkan karena pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, hanya pendidikan Asisten Apoteker yang mampu dijalankan, bahkan rintisannya harus dididik langsung di Negeri Belanda.



Kode Etik Ahli Farmasi Indonesia

Bahwasanya Sumpah Asisten Apoteker Menjadi pegangan hidup dalam menjalankan tugas pengabdian kepada nusa dan bangsa Oleh karena itu seorang ahli farmasi Indonesia dalam pengabdianya profesinya mempunyai ikatan moral yang tertuang dalam Kode etik ahli Farmasi Indonesia :



A. Kewajiban terhadap Profesi

   Seorang Asisten Apoteker harus menjunjung tinggi serta memelihara martabat, kehormatan profesi, menjaga integritas dan kejujuran serta dapat dipercaya.
   Seorang Asisten Apoteker berkewajiban untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan sesuai dengan perkembangan teknologi.
   Serorang Asisten Apoteker senantiasa harus melakukan pekerjaan profesinya sesuai dengan standar operasional prosedur, standar profesi yang berlaku dank ode etik profesi.
   Serorang Asisten Apoteker senantiasa harus menjaga profesionalisme dalam memenuhi panggilan tugas dan kewajiban profesi.

B. Kewajiban Ahli Farmasi terhadap teman sejawat

   Seorang Ahli Farmasi Indonesia memandang teman sejawat sebagaimana dirinya dalam memberikan penghargaan
   Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa menghindari perbuatan yang merugikan teman sejawat secara material maupun moral
   Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa meningkatkan kerjasama dan memupuk keutuhan martabat jabatan kefarmasiaqn,mempertebal rasa saling percaya didalam menunaikan tugas

C. Kewajiban terhadap Pasien/pemakai Jasa

   Seorang Asisten Apoteker harus bertanggung jawab dan menjaga kemampuannya dalam memberikan pelayanan kepada pasien/pemakai jasa secara professional
   Seorang Asisten Apoteker harus menjaga rahasia kedokteran dan rahasia kefarmasian, serta hanya memberikan kepada pihak yang berhak
   Seorang Asisten Apoteker harus berkonsultasi/merujuk kepada teman sejawat atau teman sejawat profesi lain untuk mendapatkan hasil yang akurat atau baik.

D.Kewajiban Terhadap Masyarakat

   Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagi suri teladan ditengah-tengah masyarakat
   Seorang ahli Farmasi Indonesia dalam pengabdian profesinya memberikan semaksimal mungkin pengetahuan dan  keterampilan yang dimiliki
   Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan khususnya dibidang kesehatan khususnya dibidang Farmasi
   Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu melibatkan diri dalam usaha – usaha  pembangunan nasional khususnya dibidang kesehatan
   Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagai pusat informasi sesuai bidang profesinya kepada masyarakat dalam  pelayanan kesehatan
   Seorang ahli Farmasi Indonesia harus menghindarkan diri dari usaha- usaha yang mementingkan diri sendiri serta bertentangan dengan jabatan Farmasian.

E. Kewajiban Ahli Farmasi Indonesia terhadap Profesi Kesehatan Lainnya

1. Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa harus menjalin kerjasama yang baik, saling percaya, menghargai dan menghormati terhadap profesi kesehatan lainnya

2. Seorang  Ahli Farmasi Indonesia harus mampu menghindarkan diri terhadap perbuatan- perbuatan yang dapat merugikan,menghilangkan kepercayaan,penghargaan masyarakat terhadap profesi kesehatan lainnya.

Pustaka : Kepmenkes RI nomor 573 tahun 2008 tentang Standar Profesi Asisten Apoteker

www.perpustakaan.depkes.go.id

39ORGANISASI PROFESI - Page 2 Empty Tugas Organisasi Profesi Wed Jun 04, 2014 7:35 pm

Fajar. B Rachmawati

Fajar. B Rachmawati

ORGANISASI PROFESI - Page 2 2akiweg

[b] Very Happy  Smile  Sad KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA


  [list=1]
[*]KEWAJIBAN UMUM
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menghayati, mentaati dan mengamalkan Sumpah / Janji Dokter Gigi Indonesia dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menjunjung tinggi norma-norma kehidupan yang luhur dalam menjalankan profesinya.
       Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi
       Dokter Gigi di Indonesia harus memberi kesan dan keterangan atau pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan.
       Dokter Gigi di Indonesia tidak diperkenankan menjaring pasien secara pribadi, melalui pasien atau agen.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menjaga kehormatan, kesusilaan, integritas dan martabat profesi dokter gigi
       Dokter Gigi di Indonesia berkewajiban untuk mencegah terjadinya infeksi silang yang membahayakan pasien, staf dan masyarakat.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menjalin kerja sama yang baik dengan tenaga kesehatan lainnya.
       Dokter Gigi di Indonesia dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, wajib bertindak sebagai motivator, pendidik dan pemberi pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif).
   KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP PASIEN
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menghormati hak pasien untuk menentukan pilihan perawatan dan rahasianya.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib melindungi pasien dari kerugian.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib mengutamakan kepentingan pasien.
       Dokter gigi di Indonesia wajib memperlakukan pasien secara adil.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menyimpan, menjaga dan merahasiakan Rekam Medik Pasien
   KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP TEMAN SEJAWAT
       Dokter Gigi di Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
       Dokter Gigi di Indonesia apabila mengetahui pasien sedang dirawat dokter gigi lain tidak dibenarkan mengambil alih pasien tersebut tanpa persetujuan dokter gigi lain tersebut kecuali pasien menyatakan pilihan lain.
       Dokter Gigi di Indonesia, dapat menolong pasien yang dalam keadaan darurat dan sedang dirawat oleh dokter gigi lain , selanjutnya pasien harus dikembalikan kepada Dokter Gigi semula, kecuali kalau pasien menyatakan pilihan lain.
       Dokter Gigi di Indonesia apabila berhalangan melaksanakan praktik, harus membuat pemberitahuan atau menunjuk pengganti sesuai dengan aturan yang berlaku.
       Dokter Gigi di Indonesia seyogianya memberi nasihat kepada teman sejawat yang diketahui berpraktik di bawah pengaruh alkohol atau obat terlarang. Apabila dianggap perlu dapat melaporkannya kepada Organisasi Profesi.
   KEWAJIBAN DOKTER GIGI TERHADAP DIRI SENDIRI
       Dokter Gigi di Indonesia wajib mempertahankan dan meningkatkan martabat dirinya.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib mengikuti secara aktif perkembangan etika, ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kedokteran gigi, baik secara mandiri maupun yang diselenggarakan oleh Organisasi Profesi.
       Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan kedokteran gigi tanpa izin dari Organisasi Profesi.
       Dokter Gigi di Indonesia wajib menjaga kesehatannya supaya dapat bekerja dengan optimal.

   Etik Kedokteran Gigi Indonesia wajib dihayati dan diamalkan oleh setiap Dokter Gigi di Indonesia. Pengingkaran terhadapnya akan menyebabkan kerugian baik bagi masyarakat maupun bagi dokter gigi sendiri. Akibat yang paling tidak dikehendaki adalah rusaknya martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran gigi yang harus dijaga bersama. Oleh karena itu semua dokter gigi di Indonesia bersepakat, bagi dokter gigi yang melanggar Kodekgi wajib ditindak dan diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Sumber : SURAT KEPUTUSAN NOMOR: SKEP/034/PB PDGI/V/2008 TENTANG KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA PENGURUS BESAR PERSATUAN DOKTER GIGI INDONESIA0000] Surprised  Shocked  Cool 
t]

Sponsored content



Kembali Ke Atas  Message [Halaman 2 dari 2]

Pilih halaman : Previous  1, 2

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik